Bab 12

15K 738 40
                                    

Beberapa malam ini Ralaya selalu bermimpi tentang papanya. Menurut mamanya, mungkin itu karena Ralaya yang terlalu merindukan papanya. Awalnya juga dia berpikir seperti itu, tapi nyatanya mimpi itu terlampau buruk.

Kilasan pertengkaran mama papanya, teriakan papa dan tangisan mamanya serta papanya yang dulu menamparnya selalu hadir. Membuat Ralaya terbangun seketika dengan napas yang terengah karena takut.

Sudah dilanda insomnia tapi nyatanya jika dia tidur malah mendapatkan mimpi buruk.

“Aya, pagi ini mama harus ke luar kota.”

Ucapan mamanya sukses menarik Ralaya dari lamunannya. Seketika langsung melirik mamanya yang sibuk memasukan beberapa barang seperti ponsel, earphone dan powerbank ke dalam tas kecil berwarna hitam.

“Huh? Kenapa ngedadak gini?” tangan Ralaya memegang sendok dan garpunya kuat-kuat.

Tatapan Ralaya yang tajam teralihkan saat mamanya menyeret koper berukuran besar yang beliau letakkan tak jauh dari kursi meja makan.

Ralaya meringis. Ternyata ini bukan dadakan, bahkan mamanya sudah menyiapkannya keberangkatannya dengan baik.

“Iya, ada yang harus mama urusin dulu. Kamu disini sendirian gak apa-apa, kan?”

“Berapa lama?” tanya gadis itu.

“Seminggu doang kok, bentar.”

Ralaya tersenyum tipis. Menurutnya itu cukup lama. Lagi pula dia tidak biasa ditinggal sendirian dirumah.

Mila melirik puterinya sekilas. Ralaya tampak diam seperti tengah berpikir dan menimbang-nimbang. Dia tahu betul pasti puterinya itu kaget, bingung dan mungkin takut secara bersamaan.

“Ini buat menuhin keperluan kamu selama gak ada mama.” Mila langsung menaruh kartu kredit di meja. Untuk keperluan Ralaya makan, uang bekal ke sekolah dan keperluan lainnya. “Kok kamu diem terus sih? Nanti mama bawain oleh-oleh yang banyak, ya.”

Lagi-lagi Ralaya hanya diam. Saat ini dia sedang mati-matian mengatur napasnya. Menahan amarah.

Mila melihatnya, mata bulat Ralaya berkaca dan dadanya naik turun.
“Kamu marah ya mama tinggal? Bukannya kamu seneng kalo mama ngelakuin hal yang mama suka?”

Mendengar ucapan itu, Ralaya langsung mendongak bersamaan sebuah senyuman diwajahnya. “Iya, Aya seneng.”

Mila menghembuskan napas kasar. Hatinya sedikit lega. “Bagus deh. Nanti mama bakal sering telpon Aya.”

Gadis itu hanya mengangguk. Dia tahu kalau ucapan itu hanyalah omong kosong.

“Yuk anterin mama ke depan. Driver nya udah ada.”

Keduanya pun berjalan sampai ke depan dan disana sudah sopir taksi online. Sembari menunggu kopernya di masukan ke dalam mobil, Mila kembali mendekati Ralaya.

Ekspresi puterinya itu masih datar dan cenderung dingin. Sangat tidak biasanya.

“Anak mama marah, ya?” tanya wanita paruh baya itu sambil mengusap pundak puterinya. “Maafin mama.”

Ralaya memberanikan menatap wajah mamanya. Agak tidak percaya harus mengatakan ini. Memang sih waktu itu dia bilang kalau dia senang melihat mamanya melakukan apapun yang mamanya sukai tapi kalau mendadak seperti ini siapa yang takkan kesal? Bahkan mamanya mengambil keputusan sepihak tanpa bertanya bagaimana pendapatnya terlebih dahulu.

“Emang Aya bisa apalagi sih sekarang, Mah? Nyuruh mama batalin ini semua? Gak mungkin, kan?”

•••

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang