Part 5 - Tidak Ada Rasa

Mulai dari awal
                                    

"Seperti dulu? Kamu mau memberiku harapan palsu lagi, itu maksudmu?" tanya Aisha tersenyum miring.

"Bukan kayak gitu. Aku... Aku..." ucapnya terbata-bata.

"Sudah cukup! Kamu nggak tau gimana rasanya dikecewain berulang kali sampai akhirnya ngerasa kalau aku udah nggak pernah punya hati lagi! Dasar pemberi harapan palsu!" desisnya.

"Aku minta maaf," ucap pria itu dengan tatapan sayu.

"Minta maaf katamu? Apa kata itu bisa mengembalikan semua perasaanku?" Aisha tertawa hambar. "Kita udah nggak punya hubungan apapun. Sebaiknya kamu pergi. Jangan pernah muncul dihadapanku lagi. Dan jangan mengharap aku kembali padamu!" tekannya sambil berlalu pergi meninggalkan pria itu yang berdiri menatapnya pergi.

"Rasa sakit ini, harus kamu bayar suatu hari nanti, Krisna. Biarlah aku seperti ini," ucap batinnya pilu. Air matanya jatuh melintasi pipinya.

***

Aisha duduk di depan kedua orangtuanya. Meremas tangan sendiri saking gugupnya. Ia menatap tidak yakin kepada orangtuanya. Aisha sudah lelah dan kini sudah pasrah. Ia akan meminta sesuatu pada orangtuanya. Mungkin ini jalannya, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Tuhanlah yang menentukan.

"Aisha, mau bicara sama Bapak dan Mama," ucap Aisha pelan.

"Apa?" tanya Pak Galih.

"Ini soal... " ucap Aisha gugup.

"Soal apa?" tanya Ibu Wenny lembut.

"Rasanya Aisha udah lelah, Ma. Umurku udah hampir tiga puluh satu tapi belum ketemu jodoh. Aku hampir putus asa," ucap Aisha terisak. "Mama tau kan kalau perempuan ada batas waktunya untuk punya anak. Tapi sampai sekarang aku belum menikah. Gimana mau ngasih kalian cucu."

Pak Galih dan Ibu Wenny terdiam. Anak perempuan satu-satunya menangis tersedu-sedu dihadapannya karena masalah pendamping hidup.

"Aisha..." bisik Ibu Wenny.

"Aku minta maaf kalau aku belum bisa membahagiakan kalian. Aku tau, Bapak sama Mama ingin melihat aku menikah. Tapi sampai sekarang belum," ucapnya disela isakkan. Ibu Wenny mendekatinya, memeluknya erat. Ia ikut menangis.

"Jodoh itu udah ada yang ngatur. Mungkin sekarang belum saatnya," ucap Ibu Wenny menenangkan.

"Tapi aku udah cape, Ma. Semuanya cuma menyakiti perasaanku aja. Nggak ada yang serius." Aisha mengeluarkan unek-uneknya selama ini.

Pak Galih menghembuskan napasnya, tidak tega melihat putrinya menangis. Selama ini ia tidak mau mengatur kehidupan Aisha. Tapi mungkin ini yang terbaik. Ia tidak mau putrinya salah memilih suami. Jika Aisha menceritakan pria yang di dekatnya hanya membuat luka dihatinya.

"Kamu tau kan selama ini baik Bapak atau Mama nggak pernah menyuruhmu untuk segera menikah. Tapi sekarang mungkin saatnya. Dia, pria yang baik. Kamu mau dijodohkan dengannya?"

"Siapa?" tanya Aisha menyusut air matanya. Ia menatap mereka secara bergantian.

"Kamu kenal Imran?"

"Ibunya Imran, kemarin kesini. Kami ngobrol terus tanpa di duga bilang minta kamu. Dalam artian mau ngejodohin kamu sama Imran." Ibu Wenny ikut bicara.

"Imran temennya Kak Raja?" Aisha masih bingung.

"Iya temennya Raja waktu kecil, yang rumahnya masuk ke gang itu. Kamu mau dijodohkan sama dia?"

Pak Galih berdehem. "Memang umurnya sama kayak kakakmu. Tapi Bapak tau dia orangnya baik dan pekerja keras." Aisha sejenak terdiam berpikir. Mungkin ini jalannya.

Feeling  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang