Chapter 4

8 0 0
                                    


"apa-apaan lelaki itu tadi!" dengus Ara dengan sebal.

"Hei. Seharusnya kau bersyukur ditabrak oleh lelaki tampan seperti tadi. Tidakkah kau lihat hidung mancung, bibir seksi serta mata tajamnya itu? Dan satu lagi. Alis tebalnya itu, tipeku banget. Hehehe" ucap Daphne menggebu-gebu dengan tatapan menerawang.

"oh, Come on! Apa-apaan pikiranmu itu? Dan sejak kapan kau memiliki pikiran kotor seperti itu?" sungut Ara pada Daphne. "Tapi aku masih heran. Bagaimana dia tahu nama panggilanku? Aku mengenalkan diriku sebagai Deandra dan seharusnya dia memanggilku Dean atau Andra. Bukannya Ara"

Dan hal itu baru disadari oleh Daphne. Keningnya mengerut, memikirkan ucapan Ara.

"oh iya. Bagaimana dia bisa tahu ya?" tanya Daphne dengan polosnya.

"Dan bodohnya dirimu, mengiyakan saja ketika dia memanggilku dengan nama itu" ucap Ara yang masih sebal. Bukan karena itu juga yang membuatnya marah. Akan tetapi tidak berkomunikasi dengan Auriga membuatnya marah dan uring-uringan tidak jelas. Ketika ia hendak memasuki ruangannya, ponselnya berbunyi tanda panggilan masuk. Seketika wajah yang sedari tadi memberengut kesal, berubah berseri-seri ketika tahu Auriga yang menghubunginya.

"Sayang!" teriak Ara ketika sudah menerima panggilan itu.

"Assalamu'alaikum Adhara. bukan teriak begitu cara menerima telepon" jawaban dari seberang. Oh betapa merindukannya Ara ketika suara bass yang serak nan seksi itu terdengar ditelinganya.

"Wa'alaikumsalam Auriga sayang. Eh sebentar, aku sedang marah denganmu. Jadi kutarik lagi ucapan sayangku" balas Ara yang pada saat itu menggigit bibirnya agak menahan teriakannya. Daphne yang mendengar ucapan Ara hanya menggeleng maklum atas tingkah adiknya itu. Dan dia melanjutkan pekerjaannya yang tertunda demi menghibur sang adik tadi.

"Hmm. Habis darimana tadi?" tembak Auriga langsung. Ya dia menghubungi Ara hanya untuk mengkonfirmasi perkataan lelaki yang menghubunginya tadi.

"Dari makan siang. Sama Daphne. Kenapa?" mendengar pertanyaan Auriga, membuat Ara penasaran. Tidak biasanya Auriga menanyakan hal-hal seperti itu.

"Oh. Tidak apa-apa. Baguslah kau sudah makan" jawab Auriga dengan nada menggantung. Menyadari nada suara Auriga, Ara tetap bersikukuh untuk mendapatkan jawabannya.

"Kau yakin tidak ada apa-apa?" tanya Ara untuk lebih meyakinkan Auriga.

"Hmm. Ya tidak ada apa-apa. Aku hanya merindukanmu" balas Auriga dengan nada meyakinkan. Ia berpikir untuk tidak memberi tahu Ara apa yang dipikirkannya. Karena ia yakin bahwa Ara tak bakal tertarik dengan Altair. "Yasudah. Nanti kuhubungi lagi okey"

"Sebentar. Kemana saja kamu seminggu ini?" tanya Ara yang sudah tidak dapat menyuarakan pertanyaan yang selama ini ia tahan.

"Aku sibuk Ra"

"Sesibuk apa? Sampai selama seminggu tidak mengabariku?" lirih Ara. Sedari tadi Daphne yang hanya sebagai pendengar setia. Langsung memberi kekuatan kepada Ara dengan menepuk bahu Ara.

Terdapat keheningan Panjang setelah Ara memberi pertanyaan itu.

"Maaf" hanya satu kata dengan berjuta makna yang dikeluarkan Auriga pada Ara. Tanpa dijelaskan apa-apa lagi Ara segera memutuskan panggilan itu. Ia pun segera menghambur kepelukan Daphne sambil terisak-isak.

"Kau tahu Daph. Jika hanya sekali dua kali ia menghilang tanpa kabar aku tidak apa-apa. Tapi lihatlah sekarang ini. Semenjak ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar sana, ia semakin membangun jarak denganku. Padahal om Fazio tak mengharuskan dia untuk meneruskan studinya itu" Curhat Ara Panjang lebar pada Daphne. Daphne pun tahu jika om Fazio yang merupakan ayah Auriga, bukanlah orang yang suka memaksakan kehendaknya pada anaknya itu. Tapi memang dasar Auriga anak yang rajin atau terlalu rajin sehingga berambisi untuk mendapatkan gelar MBA-nya itu.

"Shh, sudahlah Ara. Auriga pasti memiliki alasan mengapa ia ingin melanjutkan studinya. Lagipula itu hal yang bagus. Jadi kalian sama-sama menyelesaikan kuliah kalian. Hahaha mungkin saja dia sekalian menunggumu, bukan?"

Ara yang mendengarkannya hanya mengerutkan kening. Mungkin dia berpikir itu hal masuk akal, tapi apa benar Auriga memiliki pikiran seperti itu? Entah mengapa Ara berpikir bahwa Auriga memiliki alasan yang lebih masuk akal ketika memilih untuk meneruskan studinya. Menghindarinya mungkin?

"Ra, itu ponselnya bunyi" tegur Daphne ketika melihat Ara tidak menerima panggilan yang sedari tadi terus berbunyi untuk diangkat.

Ara hanya melirik sekilas, dan tetap mengabaikan dering ponsel itu. "Bukan suatu hal yang penting" ujarnya dan berlalu ke ruangannya untuk menenangkan diri. "Jika ada yang mencariku, katakan padanya bahwa aku tak berada disini" ucapnya pada Daphne yang dibalas dengan anggukan.

"Okay, kurasa kau memang butuh waktu sendiri" gumam gadis itu pada dirinya sendiri.

****

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Auriga menatap kosong pada benda pipih yang berada di genggamannya. Ia kepikiran tentang percakapan sebelumnya Bersama kekasihnya. "Apa aku terlalu keras padanya?" gumam lelaki itu.

"Hei, sedang apa kau duduk melamun disini? Ah kau pasti habis menelepon kekasih imutmu itu kan?" tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Terlihatlah gadis tinggi semampai dan jangan lupakan wajah yang mampu menawan hati para kaum adam.

"Apa yang kau lakukan disini Mia?" ketusnya terhadap gadis cantik itu. Mendengar jawaban yang tak bersahabat itu, Mia hanya tertawa renyah.

"oh come on dude. Sepertinya suasana hatimu sedang buruk. Butuh hiburan?" ujarnya sambil mengerling nakal pada lelaki itu. Dan hal yang tak terduga terjadi sehabis Mia mengatakan hal itu.

Dugh

"Aw, lelaki mana yang tega melempar benda keras terhadap wanita cantik sepertiku?!" teriak Mia kesal pada Auriga sambil mengelus pelan dahi yang menjadi korban dari pelemparan ganas itu.

"Dan lelaki itu adalah aku" ujarnya kalem tanpa merasa bersalah setelah melemparkan buku tebal pada Mia. "Oh please jangan berlebihan. Buku itu bahkan tak sampai 100 lembar." Lanjutnya tanpa memperdulikan umpatan-umpatan kasar yang dilayangkan Mia untuknya.

"Damn it. Kau sungguh kejam Auriga" balas Mia sambil melengkungkan bibirnya kebawah. "Kumaafkan karena kau masih sahabatku. Dan sebagai permintaan maafmu, kau harus memabayar makan siangku" lanjutnya sambil menarik lengan Auriga untuk keluar dari ruangan itu.

"Apa salahku sehingga memiliki teman seperti dia ya Tuhan" Tanya Auriga dengan dramatis  

Ya gadis cantik itu adalah teman sekaligus sahabat dekat Auriga dari mereka masih mengenakan popok bayi.

"Oh ya. Kau harus menceritakan sudah sejauh mana hubunganmu dengan gadismu itu. Eh, tentu saja dia masih gadis bukan?" tanya Mia dengan nada menggoda temannya itu.

"hentikan pikiran nakalmu itu Mia. Tentu saja ia masih gadis, karena aku akan menjaganya sampai kami memiliki ikatan yang sah" jawab Auriga tegas pada Mia. Dan mendengar hal itu, air muka gadis itu berubah. Wajah ceria yang ditunjukkannya tadi hilang tanpa berbekas menggantinya dengan raut sendu. Tentu saja tanpa disadari Auriga yang sudah berjalan mendahului gadis itu. Mia hanya menatap kosong ke-arah punggung yang sudah berjalan menjauhinya itu.


Seakan tersadar ketidak hadiran Mia disebelahnya, ia melihat kebelakang dan mengernyitkan keningnya saat melihat gadis itu hanya menatap kosong ke-arahnya.

"hei Mia. Mau sampai kapan kau berdiri disana?"

Sontak gadis itu terkejut, dan segera berlari kecil menyusul Auriga yang sudah jauh didepannya.

"apa yang kau lamunkan disana? Kau ada masalah?" Tanya Auriga, ketika gadis itu sudah berada disampingnya.

"Tidak ada, aku hanya memikirkan akan mengajakmu makan dimana. Tentu saja kesempatan ini tak akan ku sia-siakan. Karena kapan lagi aku di-traktir olehmu" jawabnya sambil tertawa renyah. Ia mengatakkannya dengan santai sambil mengalungkan lengannya di leher lelaki itu. berharap lelaki itu percaya akan kata-katanya.

"Ah ya. Terserahmu mau makan dimana aku akan ikut saja" ucapnya santai

Kau berkata terserahku, tapi akankah kau memberikan satu hal itu jika aku memintanya Auriga?

****

8/3/2018

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 10, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DandelionWhere stories live. Discover now