29 : : SADNESS

1.8K 123 25
                                    

Orang dewasa itu enggak sekuat kelihatannya, entah mengapa terkadang mereka tampak menyedihkan. Ketika dewasa tanggungjawab yang dipikul akan jauh lebih besar dibandingkan mimpi dan harapan, kamu akan merasa kehilangan yang begitu banyak, dan ketika dewasa pula ada kalanya kamu harus pandai berpura-pura, seolah-olah menonaktifkan rasa sedih, dengan cara menyibukkan diri agar rasa sedih itu tidak mengambil alih. 

-Boy Under the Rain 

...

Sulit bagi orang dewasa untuk menerima mengapa anak-anak ingin menjadi cepat tumbuh dewasa. Mungkin menjadi orang dewasa terlihat nenyennagkan dari sisi luar. Dimana terlihat begitu bebas, tanpa banyak peraturan yabg terikat, dan orang dewasa terlihat egois serta semaunya mungkin?

Tapi percayalah, meskipun seperti itu, mungkin orang dewasa akan mengatakan. Masa anak-anak akan jauh lebih bebas, jauh lebih menyenangkan dibansingkan kehisuoab orang dewasa. Mungkin banyak peraturan, namun anak-anak lebih mengerti arti tulus dan cinta yang sebenarnya. Merngerti arti persahabatan yang baik, yang benar-benar jernih tanpa penuh keraguan antar satu sama lain.

"Den? Udah bangun?"

Entah berapa puluh kali Bibi bertanya seperti itu. Nihil kedua mata anak laki-laki itu masih saja tertutup rapat. Seolah-olah masih saja nyenyak dalam tidurnya. Mencoba memulihkan tenaga.

"Den..." panggil perempuan paruh baya itu lagi. Sungguh, entahlah melihat Radin seperti ini, seakan ada ketakutan di hati perempuan. "Den Radin mimpi apa?" tanya Bibi lagi, perlahan meraih tangan Radin lalu menggenggamnya dengan erat.

Jarum infus sudah tidak dapat dielakkan lagi dari punggung tangan anak laki-laki itu. Bau obat-obatan di sekeliling ruangan terasa menyengat, belum lagi dengan suara-suara berisik yang berada di koridor rumah sakit.

"Biarin aja Radin istirahat dulu Bi."

Bibi menoleh belakang, wajah perempuan paruh baya yang jauh tampak lebih tua itu seakan terasa lega. Lega karena bukan hanya dirinya yang berada di ruangan ini.

Meskipun sulit dipercaya, tapi memang inilah faktanya. Bibi tercengang memerhatikan Papa Radin yang masih saja mengenakan kaos oblong dengan celana pendek selututnya.

"Tuan enggak kerja?"

Kedua sudut bibir pria itu terangkat, menggeleng. Menggeser kursi plastik yang berada di sudut ruangan, ke samping tempat tidur Radin.

Pria paruh baya itu menyodorkan sekantong plastik ke arah Bibi. "Bibi makan dulu Bi. Daritadi malam Bibi enggak tidur, enggak makan, enggak istirahat. Sekarang udah siang Bi."

"Bibi enggak bisa makan Tuan kalau lihat Den Radin kayak gini," ucap Bibi, bukannya tidak bersyukur dengan apa yang diberikan majikannya itu, tapi ya memang itulah yang dirasakan sekarang.

Papa Radin menoleh ke arah anaknya, wajah bundar yang benar-benar mengikuti bentuk wajahnya itu tampak tertidur pulas. Sama sekali tak ada bergerak, seolah tengah menikmati alam mimpinya.

"Nanti kalau Bibi enggak makan, Radin yang marah, Radin yang merasa bersalah. Ya kan Din?" tanya pria paruh baya itu seolah berbicara kepada Radin lalu tersenyum samar. Anggap saja Radin mengiyakan.

"Ah iya," Bibi tertawa pelan, mengambil kantong hitam itu lalu membuka bungkus makanannya. "Makasih Tuan."

Pria itu mengangguk, dibenamkannya setengah wajah kedua lipatan tangannya yang tertumpu di atas kasur. Mata bundar itu tak hentinya memerhatikan kondisi Radin sedari semalam.

Cemas? Pasti. Bahkan jika ada kata yang melebihi kata cemas maka pria itu akan menggunakannya. Bukannya ia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran anaknya itu sedari dulu.

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang