28 : : HOPE

1.8K 112 11
                                    

Sakit itu ketika kamu mempunyai harapan, namun kamu tidak punya kekuatan untuk menggapainya

-Boy Under the Rain

...

"Gue agak kecewa sama lo Din, sorry."

Kedua sudut bibir Radin terangkat samar, mengangguk pelan. Kecewa? Ya sudah pasti, tak perlu menjadi Dhei, Dimas, ataupun Rein untuk mengetahui seperti apa rasanya, semalam saja ketika mendengar keputusan Papa yang sepihak itu berhasil membuatnya seakan jatuh, terhempas begitu kuat.

Dan yah... seperti tak ada gunanya ia mempunyai harapan.

"Tapi gue enggak bodoh," lanjut Dhei melipat kedua kaki, bersandar di dinding ruang musik, duduk bersebrangan dengan Radin. "Gue masih mau dengar alasan kenapa lo kayak gini tiba-tiba."

Radin menunduk, merapatkan jaket cokelat yang dikenakannya begitu rasa dingin seolah-olah menusuk setiap pori tubuhnya. "Gue harus cerita dari mana?"

"Dari mana aja, yang penting alasan," suruh Dhei, anak laki-laki itu memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Lo bukan orang yang suka kecewakan orang lain. Gue yakin."

"Enggak," Radin menggeleng pelan, mengangkat kepala, memerhatikan tiap sudut ruangan musik sejenak. Sekarang hanya ada dirinya dan Dhei. Dimas yang sudah tahu seperti apa bentuk pengendalian dirinya sudah dipastikan tidak akan ke ruangan musik kembali, bahkan Radin tidak yakin anak laki-laki itu masih menganggapnya teman sebangku lagi.

Meskipun sudah kelas dua, meskipun ada rasanya Radin jera untuk duduk Bersama Dimas, namun entah kenapa dirinya seolah keras kepala, tidak ingin pindah dari zona menyeramkan tersebut.

Sementara Rein? Entah berapa puluh kali rasanya Radin mengutuki diri. Gadis itu memang tidak berbicara, tidak mengungkapkan apa yang dirasa secara lisan. Namun yang Radin tahu di balik tangisnya, ada rasa marah gadis itu untuknya, ada rasa kecewa yang teramat dalam tanpa bisa diungkapkan. 

"Pada nyatanya, gue orang yang sering kecewakan orang lain. Gue selalu di hadapkan dengan dua konsekuensi sedari dulu. Apalagi terkait dengan harapan gue. Gue harus milih kecewakan keluarga gue atau kecewakan sahabat gue."

"Dan kali ini..." Radin tersenyum hambar, menunduk sejenak, begitu ada rasa yang tertahan di lubuk hatinya seolah meminta ingin diungkapkan. "Gue milih kecewakan sahabat gue. Gue enggak bisa kecewakan Papa, cukup Mama yang pernah gue kecewakan sampai sekarang."

"Gue gabung band dengan konsekuensi bakal ketahuan Papa. Gue tahu hal kayak gini pasti terjadi, kalau gue ketahuan, gue pasti diperintahkan buat keluar. Tapi jujur, gue enggak tau waktunya bakal sesingkat ini, disaat seminggu lagi kita bakal manggung."

"Gue heran..." Dhei tertawa datar, membulatkan mata, memerhatikan Radin dengan tidak percaya. "Bokap nyokap lo pengen lo jadi apa Din? Lo anaknya, lo punya harapan, enggak ada salahnya mereka untuk dukung harapan lo."

"Selagi baik dan enggak aneh-aneh apa salahnya?" tanya Dhei menuntut. Meskipun pada akhirnya cowok itu tahu, sungguh salah bertanya hal seperti ini kepada Radin. Bahkan Radin sendiri tidak tahu jawabannya.  "Lo bukan robot Din, lo manusia, punya tujuan, punya harapan dan bisa jadi harapan lo jauh lebih besar dari harapan bokap nyokap lo."

"Nyokap gue bilang, manusia bisa hidup karena punya tujuan di masa depan, ngejar setiap harapan yang dibuat. Tapi kalau lo enggak bisa mertahanin harapan lo, bukan berarti sama aja lo nyerahin hidup lo untuk orang lain?"

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang