No. 1

8.8K 796 21
                                    

| Written on July, 18th 2018 |


.
.
.

"Alis Siska bisa hilang kalau ente tatap terus."

Geo pria berwajah Arab-Indo itu menyembulkan kepala melewati kubikelnya. Sedang yang ditegur malah tak beranjak berpaling dari bingkai foto yang ia tatap. "Lan, ente bahlulnya kelewatan. Siska sudah nikah. Punya keluarga sakinah, mawadah, warohman kalau ane liat-liat, sih. Terus kenapa ente ingat-ingat terus. Emang bahlul kan ente."

"Gue masih sayang dia, Yo."

"Ya wajar itu, Lan. Dia kan orang yang pernah ente titipkan kasih sayang selama berapa tahun terakhir. Engh, berapa tahun ya?! Sayangnya ane lupa nandain kalender."

"Sudah ribuan hari, jutaan putaran jam, bahkan puluhan musim."

"Oh ya, empat kali musim duren seingat ente."

"Tiga puluh dua kali kami kebasahan karena hujan. Berkali-kali gue lindungi dia dari teriknya panas pakai jaket gue."

Geo menyerah. Alan memang lagi feeling down. Mau dikata melawak kayak Sule pun Alan tak kunjung senyum, apalagi move on. "Tapi kan itu dulu. Sadar, bro. Siska sudah bahagia. Tinggal entenya aja yang harus cari kebahagian ente sendiri."

"Gue masih cinta."

"ASTAFIRULLAH! Ane curiga ente masih sering selipkan namanya dalam tiap sholat malam yang ente sujudkan. Nyerah deh ane, Lan. Ente memang dari oroknya susah move on."

Alan mendengkus keras. Dikembalikannya bingkai foto berhias wajah Siska ke dalam laci.  Dia beranjak dari kursi. Mengambil ponsel dari atas meja dan mengantonginya. "Gue mau ngopi dulu di bawah. Lo ikut?"

Geo melirik sekilas. "Malas! Ane ditraktir Americano secangkir tapi ente curhatnya sealbum. Ya salam, ente disuruh move on sudah kayak mau disuruh nyelem ke dalam samudra aja, Lan."

"Aish! Dasar onta! Bilang enggak aja mesti ceramah dulu."

Tak mau menunggu lagi. Kini langkah Alan sigap menyambar pintu lift di depan mata.

.
.
.

Camel Cafe, menjadi tempat yang dituju Alan saat ini. Juga menjadi tempat favorit bagi si Geo buat menjernihkan pikiran dari ramainya kata 'target'. Alasan lainnya, ya karena Geo dan pemilik cafe ini sama-sama made in Arab.

Alan menyambangi meja panjang yabg mengitari sebagian ruang. Di sana berdiri seorang pria dengan senyum manisnya menyapa Alan. "Siang, bang. Tumben jam makan siang malah kemari?"

"Pengen ngopi. Malas makan."

"Oh! Jadwal lo depresi ya bang? Siska nongol lagi? Dimana?"

"Shit!"

"Oh God! Kalau lo sampai ngumpat berarti benar lo abis liat Siska."

Alan menatap tak suka. "Rian! Gue aduin lo ke Aladin kalau kerja lo cuma ngajak pelanggan ngobrol. Gue kesini cuma mau latte."

Pemuda itu terkekeh. "Sori, bang. Becanda kale. Lagian lo enggak mau sekalian pesankan si onta?"

Alan berpikir sejenak. Well, bagaimanapun rumpinya Geo, ia masih punya hati untuk bersedekah secup Americano ke punuk onta kesayangannya itu. "Americano juga."

"Enggak coba kopi baru, bang? Si onta kan sukanya yang pahit-pahit tuh. Nah, barista kami ada nemu racikan baru--- Octopus Coffee."

Dua pangkal alis Alan menyatu. Serius dari cumi?

Pantofel VS SneakersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang