DOEA

265 7 0
                                    


Ginny kecil terus saja tertunduk memegangi kain panjang teman perempuannya yang jadi pengantin. Tapi anehnya, wajah si pengantin perempuan berganti-ganti, dari wajah anak yang satu ke anak yang lain. Hanya wajah anak laki-laki yang jadi pasangan pengantinnya saja yang tetap.

Anak-anak di sekeliling mereka semula menyoraki pengantin, tapi lama-lama berganti menyoraki Ginny.

"Ginny nggak pernah jadi pengantin, weeekkk!"

Ginny kecil pun mulai menangis, tapi tak bisa melepaskan tugasnya sebagai bridesmaid.

Ginny terbangun dari mimpinya. Air mata masih berlinang di pipi.

Sialan! Mimpi itu lagi! Ginny memaki dalam hati. Sialan lagi! Jam dinding menunjukkan pukul 06.30 pagi. Ginny harus bergegas kalau tidak ingin terlambat bekerja.

Cuci muka dan berdandan seadanya, melupakan sarapan, dan langsung tancap gas ke kantor dengan mobil tuanya. Benar-benar sialan. Biasanya Ginny harum dan segar karena mandi dengan sabun cair yang katanya identik dengan spa. Biasanya Ginny menyisir rambut kakunya dengan sisir ompongnya. Biasanya Ginny memoles wajah dengan Revlon , mengoles bibir dengan ... Revlon juga (Ginny kan maniak Revlon!), tapi hari ini semuanya tidak sempat. Gara-gara mimpi sialan itu!

Ah, tapi nggak pengaruh juga. Sehari-hari Ginny berpenampilan seadanya. Asal rambut disisir, wajah tidak pucat, sudah cukup. Jadi, sempat atau tidak sempat Ginny berdandan, bedanya kurang jelas. Namun begitu, kalau keadaan tidak seperti biasanya, Ginny pasti kesal dan mengumpat-umpat; sialan.

Pagi-pagi begini hati Ginny sudah penuh dengan kata 'sialan'. Apa kata Mami kalau tahu hal ini? Pasti penuh dengan khotbah. Yang jauh lebih panjang dibanding omelannya tadi waktu tahu Ginny telat bangun dan tidak sarapan. Katanya mengumpat itu dosa.

Ginny mengetuk-ngetuk keyboard komputer mewakili kejenuhannya (bukannya mengetik). Malas sekali ia memeriksa laporan keuangan kali ini. Malas sekali ia bekerja hari ini. Hari Sabtu. Banyak orang tidak kerja hari Sabtu. Dan besok Minggu, Ginny harus jadi bridesmaid lagi. Kemuakan jelas sudah dimulai sejak sekarang.

Ginny harus menjemput Karensa di rumahnya sepulang kerja. Mengajaknya menginap di rumah. Menemaninya. Mendengarkan keluh kesahnya. Menguatkannya saat menjadi bridesmaid. Karensa memang tidak diundang ke pesta pernikahan Vonny. Ia tidak pernah diundang ke semua pesta pernikahan sepupu-sepupu Ginny; semua pesta pernikahan yang mengharuskan Ginny jadi bridesmaid. Tapi Karensa selalu datang. Atas permintaan Ginny. Dan juga paksaan Ginny. Kalau tidak ada Karensa, Ginny tidak akan kuat.

Berulang kali Ginny melirik jam dinding. Berharap jarumnya cepat menunjuk ke angka empat. Pulang, pulang, pulang. Di antara seluruh tim pembukuan perusahaan komputer hari itu, hanya Ginny yang paling sering melirik jam. Sebab yang lain tidak ada yang harus jadi bridesmaid untuk yang ketujuh kalinya. Jelas!

Kalau diumpamakan anak panah, itulah keadaan Ginny begitu waktu pulang tiba. Mungkin melesat melebihi kecepatan mobilnya yang meluncur ke rumah Karensa.

Tidiiiittt! Tanpa ampun Ginny menghantam klakson. Karensa kelihatan di depan rumahnya. Tepatnya, di toko grosir kelontong yang ada di bagian depan rumahnya. Sedang melayani pembeli tentunya, dengan semua senyum manis dan keriangan. Ginny kadang pegal melihat keramahan Karensa. Bukan hanya karena Ginny tidak punya semua itu, tapi juga karena Karensa seringkali memakainya di saat yang tidak tepat. Atau juga karena Karensa mendapatkan yang ia mau dari semua itu. Kemunafikan. Kadang pikiran jelek Ginny berbunyi. Orijinalitas, Karensa pasti membela diri. Minimal rutinitas, hati jelek Ginny berbunyi lagi. Entahlah. Karensa memang seperti itu. Makanya ia punya rekor pacaran yang lumayan. Semua pria kan suka dengan wanita yang ramah?

BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)Where stories live. Discover now