Di ruang tamu, tidak ada perabot apapun kecuali sofa usang yang ditutup plastik. Ada banyak noda di bawahnya, lantai keramiknya juga terlihat dekil, berlumut, kehitaman dan bahkan lembab. Namun, cukup bagus karena tidak ada yang retak atau bolong. Di dinding itu, hanya berwarna putih kusam. Anehnya, tidak ada sarang laba-laba atau apapun. Seolah ada yang membersihkan dinding itu. Hanya dinding.

Aku berjalan, berkeliling, niat bersih-bersihku mendadak hilang. Aku ingin menjelajah lebih dulu. Di lantai satu, ada tiga kamar, dua di antaranya bersebelahan. Ukurannya tidak terlalu besar tetapi cukup untuk ditempati satu orang. Selain ruang tamu, di belakang juga ada dapur dan ruang keluarga. Di ruang keluarga itu, terdapat lemari usang yang di paling atas terdapat sebuah bingkai foto yang lagi-lagi, tidak pernah disentuh laba-laba. Cukup aneh tetapi aku membiarkannya.

Yosi melangkah ke lantai dua, aku pun mengikutinya. Di lantai dua hanya ada satu kamar dan lima buah kamar mandi di seberang yang menghadap langsung ke kamar di depannya.

Yosi berbalik ke belakang, menoleh ke arahku.

"Aku memilih kamar ini!" ucapnya seolah tidak ingin kamar satu-satunya di lantai dua itu diambil.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aku turun lagi ke bawah, ingin memeriksa Toto dan Heina. Aku bernapas lega ketika kudengar tawa keduanya dari ruangan belakang, sepertinya keduanya sedang bermain, entah apa hanya terdengar suara tawa mereka. Aku pun mulai bersih-bersih. Tak lama kemudian Yosi bergabung.

Butuh sekitar dua jam ketika aku dan Yosi sudah selesai membersihkan ruang tamu, tiga kamar di lantai satu dan juga kamar di lantai dua. Setelah beristirahat sejenak, kami mengelar tikar, hendak makan. Perut kami sudah keroncongan dan hari sudah sore. Rumah kami cukup jauh dari kota, bahkan terpencil dari rumah lainnya, untungnya, tadi aku sudah membeli makanan sebelum kemari jadi kami tidak akan kelaparan.

"Yosi, panggil Toto dan Heina!" suruhku.

Yosi mengangguk lalu berjalan keluar.

"Hendak kemana?" tanyaku.

Yosi berhenti lalu menoleh ke arahku.

"Kamu bilang memanggil Toto dan Heina," sahut Yosi malas.

"Mereka sepertinya di belakang, kudengar tawanya," kataku.

Yosi menautkan alisnya.

"Apa maksudmu? Mereka ada di depan pick up sejak tadi," jawab Yosi yang seketika membuatku merinding.

Aku menelan ludah ketika tengkukku tiba-tiba merasa dingin. Namun aku tidak ingin menoleh ke belakang, ke ruang keluarga itu. Tidak! Seberapa besarnya rasa penasaranku, aku tidak ingin menoleh ke belakang. Tak lama kemudian kulihat ketiga adikku datang.

"Asyik, makan!" Heina tampak senang.

"Duduklah!" suruhku.

Heina menurut. Adik lelakiku itu hanya senyum-senyum menanti makanan yang tengah aku siapkan.

"Aku cuci tangan dulu," kata Yosi.

"Ikut!" kata Toto lalu berlari mengikuti Yosi yang sudah di tangga.

"Hei, periksa dulu air krannya dan."

Aku berhenti ketika tiba-tiba lampu di ruang tamu menyala. Kulirik skalar yang berada di atasku. Lagi-lagi tengkukku seketika menjadi dingin.

"Wah, airnya dingin!" Yosi kembali, diikuti Toto yang rupanya sudah membasuh wajahnya.

"Kupikir jorok, airnya bersih!" puji Toto lalu duduk di tikar.

"Makanlah, malam ini kita tidur beempat!" suruhku.

"Eh? Lantas buat apa aku membersihkan kamar?" protes Yosi.

"Sudah, jangan banyak bicara. Lakukan saja atau kakak tidak akan mendaftarkanmu ke sekolah baru!" ancamku dan itu cukup membuat Yosi menutup mulutnya.

Hari beranjak malam, ditemani cahaya temaram dari lampu kamar yang entah bagaimana masih menyala. Mungkin ayah selalu membayar listrik di tempat ini walau tidak tinggal di sini. Begitu pikiran positifku tetapi aku masih tidak bisa berhenti memikirkan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi.

Kami, aku dan ketiga adikku tidur terlentang dengan kaki yang menjulur ke lantai karena kami tidur secara horizontal agar satu kasur bawah yang kami bawa dari rumah kami dulu cukup untuk kami berempat. Semua pintu sudah kukunci, demikian pula jendela. Bahkan jendela yang kacanya pecah itu aku pakukan balok kayu sehingga tidak akan ada yang masuk. Namun, rasa gelisahku terus saja hinggap.

Malam semakin larut dan satu-persatu adikku mulai tertidur. Dimulai dari Heina, Toto lalu Yosi. Jadi tinggallah aku sendirian, berada di paling pinggir sembari melihat ketiga adikku, memastikan mereka aman. Lalu di keheningan malam, suara halus dan pelan itu terdengar. Aku tidak bisa menerka apa yang tengah diucapkan suara itu yang pasti makin lama makin menggema dan aku mulai berkeringat dingin.

Tok.

Satu ketukan.

Tok.

Satu lagi ketukan.

Tok.

Dan aku memejamkan mata secepat mungkin di ketukan ketiga. Sembari memeluk Heina dengan erat, memegang tangan Yosi yang susah payah kugapai dan menjepit Toto dengan kakiku yang kugerakkan hingga menyentuh dia yang tidur setelah Heina.

Aku tidak pernah membuka mataku setelah itu. Tidak, sampai pagi akan menyapaku.

Karena suara pelan itu kudengar berucap, "hai".

***
TBC.

THE SATANIST ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang