Rumah sakit seperti biasa beraktivitas dengan normal. Surai panjang itu mengkilau, berkat sinar mentari sore yang lolos masuk melalui kaca jendela. Dalam ruangannya, terlihat bahwa ia cukup sibuk saat ini karena memeriksa dan menulis rekam medis pasien.
Ketukan pintu mengalihkan fokus pada lembaran-lembaran kertas di hadapannya.
"Silahkan ma—" Dirinya menghela napas. Wanita yang sekarang menghampirinya sudah sering melakukan hal tersebut.
"Kau tidak lihat ini pukul berapa?" Wanita dengan kuncir kuda itu menarik lengannya, mengajak untuk bangun dari duduk. "Waktunya istirahat, anak rajin."
"Sedikit lagi hampir—"
"Na-ah, sudah cukup. Kau manusia bukan mesin."
Emily Alison, namanya.
Jika sudah mendengar penegasan kalimat itu, Emily tidak ingin mendengar ocehannya lebih lama, jadi ia memutuskan bangkit dari kursi.
Seperti kakak-beradik, dua wanita tersebut berjalan beriringan menuju kantin.
"Makan apa kita sekarang?"
"Menurutmu apa, Em? Sore-sore seperti ini mungkin lebih enak Tuna Sandwich?"
Emily berdeham panjang, "Aku ingin burger. Oh! Dua burger. Itu pilihan bagus." Emily tersenyum girang.
Lidya Logan, wanita itu tertawa, "Serius, Em? Karbohidrat dan lemak yang banyak itu tidak baik. Padahal kau seorang dokter, mempunyai pengalaman dengan banyak pasien."
"Hanya hari ini, aku janji. Aku lupa makan pagi tadi, terlalu terburu-buru."
Mereka memesan makanan saat sudah menempati tempat duduk di kantin.
"Kau bisa memintaku membawa bekal untuk dimakan senggang waktu. Dan soal tadi, aku pegang janjimu, bella." Lidya memakai campuran logat Amerika latinnya. Bella yang berarti cantik.
"Ya. pegang janjiku, bella." Emily terkekeh lalu mengikat rambutnya yang tergerai. "Aku belum melihat Michael sedari tadi."
Lidya memutar kedua bola matanya, "Super sibuk."
"Pantas saja."
"Sebenarnya, aku ingin berbicara tentang ini sejak pekan lalu. Kurasa karena kita sedang membahasnya, tidak apa."
"Ceritakan saja."
"Kau tidak merasa bahwa Michael berbeda?"
Emily menautkan alisnya, "Berbeda? Berbeda seperti apa?"
"Lihat akhir-akhir ini, dia selalu mempunyai beribu alasan jika kita mengajak waktu bersama. Bahkan, dia tidak pernah membaca pesan percakapan di grup kita."
"Kau terlihat se—terima kasih," Emily membantu pelayan yang memberikan pesanan mereka, sebelum pelayan itu kembali ke dapur. "Benar, tapi, kau terlihat seperti berpikir negatif, bukan?"
"Pikirmu?" Lidya memutar kedua bola matanya. "Dia seakan menjauh dari kita. Aku pikir, aku tidak ada masalah dengannya. Apa dirimu?"
"Aku? Tentu saja tidak." Emily memakan burgernya dengan satu gigitan. "Tapi, perkiraanmu ada benar juga."
"Sekarang, tidak hanya aku yang berpikir negatif, bukan?"
"Aku hanya memperkirakan ucapanmu saja." Emily berucap dengan nada humor.
"Terserah apa katamu, Em." Lidya memakan pesanannya, kemudian menggumam tidak jelas, "Enak sekali. Aku ingin berkencan dengan kokinya."
Emily tersedak dan mengambil air minum. "Kau bercanda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Opium For Dalton
RomanceTerlalu erat direngkuh rasa damai, tanpa menduga jika akhirnya goresan tinta yang terukir, memberi warna baru dalam nota kehidupan. Profesinya sebagai dokter membuat Emily yang untung menjadi buntung ketika tanpa rencana dirinya bertemu oleh sosok p...
