Bab 3

58.3K 4.5K 91
                                    

Suara air mengalir saat aku menekan flush menjadi pertanda berakhirnya kegiatanku di kamar mandi. Walau begitu, perutku masih menyisakan rasa perih sehingga membuat langkahku agak tertatih ketika hendak membuka pintu kamar mandi.

Semua ini karena ayam geprek level sepuluh yang kumakan tadi. Serius, aku adalah tipe orang yang tidak bisa makan bila tidak ada cita rasa pedas dalam makananku. Sekalipun tingkat kepedasannya sampai membuatku berkeringat bahkan menangis, aku masih akan baik-baik saja. Namun, sepertinya aku sedang sial sekarang. Perutku rasanya seperti dililit oleh sesuatu. Sakit sekali.

"Sudah kubilang berhenti memakan makanan pedas, Auryn."

Jantungku hampir melompat keluar dari tempatnya sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. Mengelus pelan dadaku, aku pun mengarahkan tatapanku pada Fano yang kelihatan kesal. Suara setengah membentaknya sudah jelas menunjukkan seperti apa suasana hatinya saat ini.

Dia bergerak merangkulku, memapah tubuhku berjalan menuju sofa. Aku membiarkannya tanpa melayangkan protes meski mulutku sudah sangat ingin mengatakan kepadanya bahwa aku sedang tidak dalam kondisi sekarat.

Fano sedang dalam mood yang buruk. Tentu saja aku tidak ingin membuat sang monster menunjukkan taringnya.

"Kamu ngapain?" tanyaku pada Fano yang tengah mengotak-atik ponselnya sebelum menempelkan benda tersebut di telinganya.

"Menyuruh teman dokterku untuk memeriksamu di sini."

Aku melotot. Fano pasti sudah gila. Bagaimana bisa dia menyuruh dokter untuk memeriksaku sementara sakit yang kurasakan adalah hal yang biasa terjadi ketika seseorang terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas.

Dengan cepat aku berdiri dari posisi dudukku, mengangkat satu tanganku untuk merebut ponsel tersebut dari Fano dan mematikan sambungannya langsung.

"Apa-apaan kamu, Auryn!" bentaknya padaku.

Bagus, Auryn. Kamu baru saja memanggil monster dalam diri Fano.

Suara hatiku menyadarkanku akan sikapku barusan, tetapi Fano memang sangat berlebihan. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun walau dokter yang Fano minta untuk memeriksaku nanti akan dibayar olehnya.

"Ini cuma sakit perut biasa, Fano. Aku nggak butuh dokter." Aku membalas bentakannya dengan nada yang sama, walau tak sekeras miliknya.

Tatapan Fano menggelap, dan aku mengambil sikap waswas setelahnya.

"Kembalikan handphone-ku."

Respons yang tak terduga dari Fano. Kupikir dia akan kembali berargumen dengan pikiran tak masuk akalnya itu.

"Berjanjilah kalau kamu nggak akan memanggil seorang dokter untuk memeriksaku." Sebuah penawaran dariku, dengan ponselnya yang masih kusimpan di belakang tubuhku.

"Aku meminta handphone-ku, Auryn," desisnya, tak menanggapi tawaranku barusan.

Aku menelan ludahku susah payah. Namaku yang disebut oleh lidahnya dengan sebuah penekanan yang kuat pastilah mengandung arti tertentu, yang tidak lain adalah bentuk dari sebuah kemarahan.

Bawah sadarku mengangkat kedua tangannya di udara, mendeklarasikan sebuah kekalahan. Fano memang tak bisa dilawan. Aku selalu takut jika dia kembali bermain fisik. Aku tak ingin terluka lagi, setidaknya setelah apa yang dia lakukan pada lenganku di hari ini.

Dengan mata yang menatap hati-hati ke arahnya, aku akhirnya mengulurkan tanganku padanya untuk menyerahkan benda pipih tersebut, yang langsung direbut dengan kasar oleh Fano.

Dia tidak berjanji sebelumnya, jadi, aku hanya menghela napas saat Fano kembali menghubungi seorang dokter untuk datang ke sini. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah dengan sikap berlebihan Fano, dan kembali duduk di sofa untuk menenangkan adrenalin yang berpacu kuat saat berhadapan dengannya.

All He WantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang