7

6.8K 643 5
                                    

The Guardian

Elena melangkah masuk ke dalam apartemen dengan perasaan yang kacau balau. Ia melihat Ryder berdiri di depan pintu kamar tidur sambil memeluk bantal dan selimut milik Elena.

"Mulai sekarang kau tidur di dalam! Dan jangan berani keluar tanpa izinku. Mengerti?" Katanya sembari menyodorkan bantal dan selimut itu ke hidung Elena.

"Kenapa?"

Ryder tidak menjawab. Ia membuka pintu kamar dan ketika Elena memasuki kamar, dibantingnya pintu. Membuat Elena terkejut.

Elena kesal sekali sekarang. Amarahnya kembali mencapai puncak kepalanya. Dasar cowok menyebalkan! Sombong! Kenapa Elena harus terjebak bersama dia entah sampai berapa lama. Elena tidak tahan lagi. Ia menghambur ke tempat tidur dan berteriak kuat-kuat dengan bantal menutupi wajahnya.

Setelah melampiaskan emosi beberapa menit. Elena terdiam. Hidungnya mencium aroma maskulin yang asing dari tempat tidur.

Aroma Ryder, batin Elena,

Meskipun ia kesal, tapi ia tidak bisa menemukan alasan untuk membenci cowok itu. Bagaimanapun juga, cowok itulah yang menolongnya di hari pertama mereka bertemu. Bukan, cowok itu melindunginya.

Kemarahan Elena langsung surut memikirkan hal itu. Memikirkan lengannya yang kuat mencengkeram tubuh mungil Elena dan sayap hitamnya yang megah yang menyelubunginya. Seakan-akan tembok yang melindungi setangkai bunga dari badai.

Lalu telinga Elena menangkap sebuah lagu.

Elena bangkit dan menebak dari mana lagu itu berasal. Dari ruang tamu. Dari piano hitam milik Ryder pribadi. Ia ingat, bahwa Ryder adalah seorang pianis.

Elena melangkah menuju pintu. Ditempelkan telinganya ke daun pintu untuk mendengar lebih baik. Alunan lagu yang dimainkan Ryder memang sangat indah. Lebih indah dari permainan Alan. Dentingan piano kali ini, mewakili perasaan. Elena seakan-akan bisa merasakan emosi Ryder.

Ia terduduk dan masih bersandar di pintu.

Ia ingin menikmati alunan lagu itu sedikit lebih lama lagi.

Ia ingin menikmati alunan lagu itu selamanya.

-----

The Reaper

Jari-jari Ryder tampak seperti menari di atas tuts-tuts piano itu. Irama yang dihasilkan membawa ketenangan bagi perasaannya. Ia memang suka piano. Apalagi ketika gadis itu memuji bakat alaminya. Ryder lebih mencintai piano.

'Waaah..aku senang sekali mendengar permainanmu!'

'Kau suka?'

'Suka? Aku memujinya! Rasanya aku bisa mendengar ini selamanya'

Gadis itu tersenyum lebar. Hati Ryder berdebar-debar tiap kali melihat senyuman gadis itu. Di usapnya puncak kepala gadis itu

'Aku suka tanganmu..tangan yang biasa main piano memang lembut ya' gadis itu menangkupkan tangannya ke jari-jari Ryder yang panjang.

'Aku suka kamu'

JREENG! Ryder menekan sekumpulan tuts dengan tenaga penuh. Ingin menghentikan adegan itu bermain di kepalanya. Tiap kali memikirkan gadis itu, Ryder merasa tidak karuan. Ia merindukannya. Ia membencinya.

Ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan jam lima pagi. Ia bermain piano semalaman. Dan karena semua orang menyukai permainannya, tidak ada tetangga yang protes atas kebisingan merdu yang ia timbulkan.

Malaikat kematian tidak butuh tidur.

Mereka butuh istirahat.

Dan bagi Ryder, ia sudah beristirahat.

Guardian ReaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang