i. dusk till dawn

10.9K 2.6K 289
                                    

Senja datang kala itu, menorehkan warna jingga bercampur biru di langit kota. Melukiskan pemandangan indah yang menyejukan mata siapapun yang melihat.

Namun entah sejak kapan senja bukanlah waktu favorite Felix, setidaknya selama setahun belakangan ini.

"Felix, it's time to eat."

Felix menghela nafas. Rona pipi yang biasanya menemani freckle di wajahnya telah sirna, tergantikan oleh raut khawatir dan gemetar.

Tungkai pemuda itu melangkah menuju pantry kecil di sudut ruang.

Kakak memperhatikan raut Felix dengan lamat. "What's wrong with your face, peanut?"

"I'm okay, Kak. I just want to eat quickly, i have a homework to do:"

"Okay, tell me if you need something."

Kakak berlalu, dengan piring berisi kornet sapi di piring.

Felix memainkan ibu jari, "Uh... kak."

"Ya?"

Lidah pemuda itu terasa kelu ketika menatap wajah kelelahan sang kakak. Senyuman kecil tersimpul di bibir, perlahan kepalanya menggeleng.

"Gapapa."















































Tau apa yang Felix benci dari senja?

Tepatnya satu tahun yang lalu dia muncul saat senja datang. Menatap Felix tajam di sudut ruang dengan senyuman remeh.

Rambut coklat yang tak terawat, bekas luka disekujur tubuh, seragam sekolah lusuh dengan noda darah, serta bau busuk yang memenuhi seisi ruang.

Seperti bau bangkai dan bunga melati yang saling bertumpukanㅡmenyengat.

Percayalah, dulu Felix tidak pernah percaya hantu. Di era modern seperti ini takhayul bukanlah gaya Felix.

Semula Felix kira itu hanya halusinasi. Namun hari berikutnya dia kembali muncul, dengan rupa yang lebih buruk dari hari ke hari.

Separuh wajahnya memar, seperti membusuk.

Namun sekarang tidak lagi, pemuda itu percaya.

Gadis itu tak banyak berbicaraㅡralat, dia sama sekali tak berbicara.

Hanya menatap dalam diam, penuh dendam.



















Dari dalam cermin.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang