Kata penyemangat

6.9K 1.4K 104
                                    


Kang Daniel seolah mimpi bagiku. Sosoknya begitu sempurna, seolah semua yang ada pada dirinya adalah semua kekuranganku. Seolah ia ada untuk melengkapi ketidaksempurnaanku.

Namun kerap kali semua pemikiran itu kutepis, karena bisa saja dia datang hanya untuk singgah. Bukan tetap tinggal.

Aku tersihir. Seolah terhipnotis olehnya. Aku hanya bisa diam membeku, lalu merona oleh semua sikapnya. Hatiku mengambil alih, memerintahkanku untuk mempercayainya. Rasa percaya yang belakangan ini tidak kumiliki.

Termasuk kepercayaan diri.

Kang Daniel hadir seolah memberikan kepercayaan itu lagi. Kali ini, bolehkah aku memiliki rasa percaya itu lagi? Bersandar dan bergantung pada seseorang lagi?

Malam itu aku sulit terlelap. Membayangkan kilas memori akan perlakuan Daniel yang begitu hangat, membuat hatiku menghangat kembali. Aku mengeratkan selimut, menyembunyikan detak jantung yang tidak bisa kukendalikan.

Aku memejamkan mata, namun bayangan Daniel kembali hadir.

Sampai ponsel tuaku berdering, sebuah nomor yang telah kusimpan dengan nama 'Daniel' muncul sebagai pemanggil. Apakah aku tertangkap basah sedang memikirkannya?

Kuhirup nafas dalam, lalu mengangkat panggilannya.

"Halo.." sapaku.

Dibalas dengan suara berat miliknya, ah ada yang aneh.

"Daniel? Kau baik-baik saja? Ada apa?"

Daniel terdiam sejenak, "Aku tidak baik. Bisa kita bertemu?"

DEG

-

Sabtu malam, pukul 11 lebih 40 menit Daniel tiba ditoko dengan wajah penuh luka.

Mengingat malam semakin larut, aku membawanya masuk kedalam kamarku. Keadaannya kacau, ia kesulitan untuk sekedar berjalan. Aku memapahnya untuk berbaring diranjang.

Hatiku nyeri melihatnya, tanpa banyak bertanya kusiapkan air hangat dan perlengkapan untuk mengobati lukanya.

Kenapa ini sering kali terjadi padanya? Aku menghargai privasinya, aku tetap menunggunya bercerita bila memungkinkan.

Dia mengaduh kesakitan saat lukanya kusterilkan dengan alkohol. Kutebak ia berkelahi. Dan kalau tidak salah, dia menerima pukulan tanpa perlawanan. Karena sekitar punggung tangannya tidak ada luka.

"Aku tidak mau pulang. Bolehkan aku menginap?" tanyanya sesaat aku menyimpan perlengkapan obat-obatan.

Aku bingung, menautkan alis karena terheran.

"Kumohon.." ujarnya lagi membuatku mau tidak mau hanya mengangguk menyetujui.

-

Daniel tidak seperti Rooney, saat Rooney disini dahulu aku hanya meletakkan kardusnya disudut. Tapi Daniel malah mengambil tempat yang cukup banyak dikamarku yang begitu sempit ini.

Suasana begitu canggung saat kami sama-sama berbaring menatap langit-langit.

Lalu ia membuka suara, "Kalau aku menginap disini mungkin akan lebih mudah untuk belajar bersama." dilanjut oleh tawa kecilnya kemudian.

"Hm." Tanggapku, karena bingung harus menanggapi apa.

"Bercanda." Ujarnya lagi.

"Oh.." balasku.

Sungguh, suasana hening ini membuatku takut. Takut bila detak jantungku malah terdengar. Karena diam-diam aku sibuk menetralkan degupannya yang kian menggila.

Aroma parfum khas Daniel menguar didalam kamar sempitku ini, belum lagi deru nafasnya juga terdengar. Membayangkan kami berdua didalam ruang kecil ini membuatku begitu gugup.

"Aku bertengkar dengan ayahku. Lagi. Dia selalu memukuliku, saat dia ada masalah pekerjaan ataupun saat aku tidak mendapat nilai yang baik."

Mendengarnya membuatku serba salah. Ada rasa iba dan sakit memenuhi hatiku. Seolah rasa sakitnya ikut terbagi. Tapi, dalam hal ini bukanlah wilayahku untuk ikut campur.

"Aku menceritakannya agak kau tidak berpikir aku berkelahi dengan sembarang orang. Aku tidak suka berkelahi. Sungguh."

"Aku percaya."

"Syukurlah."

Lagi-lagi saat hening tercipta, jarum detik jam yang bergerak mengisi kesunyian. Bersahut-sahutan dengan suara deru nafas kami.

Aku tidak pernah ditenangkan, aku tidak pernah dikuatkan. Belum pernah seorangpun menepuk punggungku saat aku terpuruk. Tidak ada satupun yang mengucapkan kata penyemangat kala aku sedang bersedih.

Tapi saat ini, pertama kalinya aku ingin berlaku seperti itu pada seseorang.

Aku tidak yakin dengan apa yang kulakukan. Hanya saja, tanganku bergerak sendirinya. Mencari tangannya yang bebas lalu menggenggamnya.

Mengeratkan genggaman, lalu aku berucap lirih. "Untuk segala kesulitan. Untuk segala masalah yang kau hadapi, kuharap semua akan selesai. Bertahanlah!"

Aku tidak tahu apa itu akan membantu, tapi itu keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam. Hanya saja agar ia tahu, ia tidak sendiri. Seperti aku yang selalu sendiri menghadapi segala kesulitan, sebelum ini.

Malam ini,

Didalam kamar sempit berukuran 3 x 4 milikku. Dibawah temaram lampu, dengan tangan saling bertaut kami tetap dalam diam. Dengan pengharapan dan pemikiran masing-masing. Hingga rasa kantuk mulai mendatangi.

*

Notes:

Mereka uda saling terbuka 😆
Tinggal Ong nya aja
Gapapa pelan-pelan aja yah..

Respon buat 'Insecure' luar biasa.
Ah, jadi takut pada kecewa :(

Hmm.. jangan bosan-bosan yaa ^^

Thanks Vomentors
😚

Insecure - OngNiel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang