1. Life After

579K 17.9K 1K
                                    

"Ana, gimana kalau kita jadian?"

Bukan kalimatnya yang membuatku tersenyum, tapi caranya mengucapkan kalimat itu. Pipinya berubah jadi merah dan mata cokelat gelapnya berkedip malu-malu. Dia juga meremas tanganku. Lucunya, dia tidak berani menatap mataku.

Sangat lucu memang, apalagi kalau mengingat usianya lebih tua enam tahun dariku. Dia malah terlihat seperti anak SMA. Sesekali, saat bibirnya membuka terlihat gelas kalau dia gemetar. Tangannya juga terasa dingin. Kukira setelah tujuh bulan kami berteman, efek kalau dia nembak tidak sampai begini.

Ternyata dia masih grogi juga.

"Kenapa kita harus jadian?" Aku sebenarnya cuma pengin menggodanya saja, sih. Habisnya, dia lucu kalau malu-malu begitu.

Tuh, kan benar. Dia gelabakan. Astaga lucu banget!

"Aku suka kamu, Ana. Aku sayang kamu."

"Kamu kan mau ke Milan."

"Kalau aku ke Milan, kan jadi nggak bisa ketemu kamu." Dia masih menghindari kontak mata. Sekarang, dia menggigiti bibir dengan gelisah.

Aku jadi semakin gemas, sumpah.

"Kalau ke Milan, kamu bisa ngembangin karir modelling-mu, kan? Kamu bisa jadi bintang film juga."

"Di sini juga bisa."

"Tapi kamu nggak pernah mau ikut audisi."

Dia menggosok rambutnya sampai berantakan. "Memangnya, kamu segitu penginnya aku jadi artis?"

Aku tertawa. "Aku penginnya kamu jadi pacarku, sih."

Dia melotot. Kali ini dia benar-benar melotot menatapku. Dia seperti kehilangan kata-kata atau kehabisan napas atau kena mantra "petrificus totallus"-nya Harry Potter.

Kutepuk pipinya dua kali. "Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, sih."

Dia mengerjap dan mencium tanganku. "Astaga! Mau, Ana. Aku mau banget," ucapnya dengan ekspresi seperti mau menangis. "Aku sayang kamu, Ana." Dia menciumi tanganku lagi.

Itu kejadian hampir dua tahun lalu. Dave nembak aku tepat saat orangtuanya memutuskan bercerai dan ibunya mau pulang ke Milan lagi. Dia sayang ibunya, tapi rupanya dia jauh lebih sayang sama aku.

Seminggu setelah peristiwa penembakan yang menggemaskan itu, Dave pindah ke kosku. Kami tidak tinggal sekamar. Tenang saja. Dave bukan cowok yang macam-macam. Selama dua tahun ini dia belum pernah menciumku atau yang lain. Dia baru tiga kali pacaran dan merasa sangat bahagia pas kubilang kalau dia pacarku yang kedua.

"Aku bakal jadi pacar terakhirmu, Ana," ucapnya bangga.

Semoga aja kamu nggak pernah tahu siapa pacar pertamaku, Dave.

Sekalipun badannya besar dan kadang agak sombong, Dave cowok yang lucu banget. Kalau di depan orang dan penggemarnya, Dave itu seperti manekin yang angkuh dan sok sempurna. (Ingat kan bagaimana pedesnya omongan dia pas pertama kali ketemu denganku? Ternyata dia memang jual mahal gitu sama semua cewek.) Cuma aku yang tahu kalau dia masih suka gigit kuku, ngisap ujung jempol kalau sedang galau, menyimpan bungkus makanan di bawah tempat tidur, dan cinta mati sama guling. Dia rela tidur nggak pakai bantal daripada nggak pakai guling.

Dave juga kalau manggil aku tuh kayak Rhoma Irama manggil "Ani". Ada lagunya gitu. Kedengarannya manjaaaaa banget. Pernah Karin sampai noyor kepalanya pas dia merengek biar aku ikut pemotretan di Thailand pas dia dapat kerjaan dari Tommy Hilfiger.

"Aku kan harus ujian, Dave. Lagian cuma tiga hari. Masa kamu nggak bisa pergi sendiri?"

"Terus siapa yang nemenin aku kalau aku diperkosa banci Thailand, Ana."

Savanna (Terbit; Heksamediapressindo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang