Bab 195: Menenangkan

17.1K 1.2K 72
                                    

Ian berlari cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ian berlari cepat. Saking panik dan khawatirnya dia dengan Caca, Ian tidak memedulikan tatapan orang lain kepadanya. Dia mencari Caca di kantin, matanya menyisir satu-persatu meja.

Mata lelaki itu menangkap siluet Lichita yang menenangkan Caca di pojok kantin. Ian jadi resah, pasalnya Caca menangis tersedu-sedu di sana. Membungkukkan tubuhnya menyembunyikan wajah dibalik telapak tangan.

Ian mempercepat langkahnya, bahkan lelaki itu melompat-lompat supaya bisa mencapai tempat Caca sesegera mungkin. Ketika dia sudah berada di hadapan Caca, seluruh teman gadis itu terkejut.

Kemeja Ian basah oleh keringat, tangan lelaki itu dipenuhi tonjolan urat dan rambutnya lepek karena berlari kencang dari fakultas ekonomi ke FISIP. Dia tidak punya waktu untuk menunggu BIKUN.

Sembari mengatur napasnya Ian bersimpuh di depan Caca, meraih tangan gadis itu agar dia bisa melihat seberapa banyak air mata membasahi wajahnya.

"Hei," sapa Ian, dia mengusap pipi Caca. "Aku di sini."

Saat mata Caca mengerjap, menyesuaikan cahaya yang menusuknya. Gadis itu mengernyit, aroma tubuh Ian menguar makin terasa dan ekspresi cemas lelaki itu yang langsung terpampang di matanya. Lantas gadis itu meringsek, memeluk Ian erat.

"Iihh... Aannn..." gadis itu sesegukkan, matanya terpejam kembali. "Iiiiaaannnn..."

Ian menepuk punggung Caca, menenangkannya. "Iya, sayang, di sini."

Lalu gadis itu menggesek dagunya di bahu Ian, dia meletakkan wajahnya di sana. Dapat Ian rasakan rembasan air hangat mengenai lehernya. Sesekali Ian bergerak tidak nyaman, bukan karena sekarang mereka jadi pusat perhatian melainkan Caca yang berada didekapannya tidak menjelaskan apa pun kecuali menangis.

Lama-lama berdiam diri Ian jadi gusar, dia merenggangkan pelukannya paksa kemudian merangkum rahang Caca. Gadisnya itu masih mengeluarkan air mata bahkan sampai matanya sembab.

Lichita, Nisrina, Nada dan Wagiu cuma bisa memerhatikan dua pasangan itu. Sejak tadi mereka sudah berusaha menenangkan Caca tapi Caca tidak mau berhenti malah menelepon Ian.

"Love, tell me,"

Kepala Cacca terantuk karena menyusut ingusnya. "Ian..."

Ian menganggukkan kepala, mengusap perlahan rahang gadis itu memberi kelembutan serta kehangatan yang Caca butuhkan.

"Aku... Gagal," lirih gadis itu pelan-pelan, dengan setia Ian mendengarkannya. "Aku ditolak di UNICEF karena masih semester 1, karena takut menganggu kuliah. Kata mereka aku bisa nyoba pas udah semester 3 atau 4," lanjutnya mewek.

Bernapas panjang, Ian menarik sudut bibirnya. Dia pikir Caca kenapa-napa, mendapatkan sesuatu yang buruk seperti beberapa waktu lalu. Ternyata bukan. Setidaknya Ian lega. Gadisnya ini menangis karena hal sepele.

"Iya udah nanti coba lagi, ya?"

"Huhuhu," air mata Caca mengalir lagi. "Aku kan mau bantu mereka, ini impian aku jadi bagian di sana. Aku mau aktif kegiatan sosial luar kampus, Yan, aku mau nolongin mereka dengan kemampuan dan kelebihan yang aku punya... Aku..."

"Hei," Ian menekan pipi Caca supaya gadis itu berhenti sejenak. "Jangan terlalu memaksakan sesuatu yang belum bisa kamu raih. Perlahan, sayang, kalo kamu sabar kamu bisa,"

"Terus, gimana? Aku sedih banget, Yan,"

Ian menghapus jejak air mata Caca. "Jangan nangis lagi," perintahnya lembut lantas dibalas anggukan menurut Caca. "Aku paham impian kamu menolong mereka, aku ngerti. Tapi, Caca, menolong orang lain yang kesusahan itu ada banyak caranya. Bukan berarti kamu nggak bisa lewat satu cara, kamu nggak bisa membantu mereka dengan cara yang lain,"

Caca diam mendengarkan pacarnya itu menasihati. Suara Ian sangat rendah, cenderung lembut dan penuh kehati-hatian. Ian takut melukai perasaan Caca yang sekaerang sedang sensitif.

"Uluran tangan kamu, bisa kamu berikan ke semua orang. Bukan cuma ke mereka, sayang," Ian menyingkirkan tangannya dari rahang Caca kemudian menunjuk teman-teman Caca yang sedari tadi duduk menonton keromantisan mereka. "Sahabat-sahabat kamu," Ian menunjuk dirinya sendiri. "Aku," lalu kedua tangannya merentang ke atas. "Seluruh orang yang kamu kenal,"

Telapak Ian yang lebar dan besar dia letakkan di atas lutut Caca. "Kamu udah banyak bantu mereka dengan uluran tangan kamu. Bukan cuma materi yang kamu berikan, tapi juga kebahagiaan, kenyamanan," mata Ian menyorotkan perasaan tulusnya pada Caca. "Kamu orang yang selalu ada buat kita, Caca. Bantuanmu itu udah lebih dari cukup, jangan paksakan kalo memang belum bisa mencangkup semuanya. Cukup. Cukup jadi penolong untuk orang disekitarmu itu udah lebih dari baik, sayang,"

Caca menelan ludahnya. Dia mengedipkan mata memandang Ian yang ada di bawahnya. Perkataan Ian sangat menyentuh hati Caca dan membuat gadis itu terenyuh.

"Menurut kamu begitu?"

Ian mengangguk tenang. Dia merapikan rambut Caca yang berantakan. "Mungkin hal kecil seperti bertanya; "Kamu nggak apa-apa?" dan "Semangat ya!" itu hal biasa buat kamu. Tapi, bagi mereka, kita nggak tau hal apa yang sedang mereka alami di hari itu," Ian menekan puncak kepala Caca halus. "Tapi, karena kepedulianmu, hanya dengan kalimat, kamu bisa menyelamatkan hidup seseorang. Itulah kamu, Caca yang aku kenal. Selalu berusaha ada di samping orang yang membutuhkan meskipun kamu sendiri kesulitan. Karena bagi kamu keselamatan mereka nomor 1 daripada diri kamu sendiri."

Sebelumnya Caca tidak pernah tahu kalau dicintai setulus ini oleh pria bisa dia dapatkan. Dia kira selamanya Caca akan jatuh pada kepatahatian, ternyata kehadiran Ian justru membuatnya sadar bahwa cinta sangat menyenangkan dan menenangkan hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Entangled 4: LovebirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang