"Dengar," ujar Arraf, tersenyum, menepuk bahu Miko. "Gue tahu lo pintar. Tahu banget. Lo bahkan lebih cerdas daripada gue. Itulah kenapa gue mengandalkan lo buat bikinin obat pemicu adrenalin karena gue tahu lo yang paling pintar dibanding yang lain. I need you to do it now and do it right. Gue percaya sama lo. Ini demi kemenangan FMIPA. Apa lo nggak bosan dihina-hina terus sama fakultas lain? Apa lo nggak ada rasa mau berontak dan nunjukkin kalau FMIPA juga bisa menang dari sisi olahraga, bukan cuma otak? Kenapa nggak patahin aja mitos-mitos itu? Gue mau anak-anak FMIPA merasakan nikmatnya kemenangan dan berbalik jadi fakultas yang disegani karena berhasil menaklukkan Oksigen, berhasil ngalahin Fakultas Teknik dan yang lain. Gue mau lo merasakan itu juga. Lo cerdas dan karena inilah gue percaya sama lo buat bikin obat pemicu adrenalin."

Miko terlihat berpikir, kemudian berkata, "Pasti anak-anak nanti tepar habis itu. Lo bakal jelasin gimana?"

"Biar itu jadi urusan gue," ujar Arraf. "Urusan lo tinggal bikin obat pemicu adrenalinnya. Kita semua sama-sama usaha buat kemenangan FMIPA. Gue mau semuanya ngerasa usaha bareng-bareng, bukan usaha dari pemain atau manajer tiap cabor aja."

Setelah itu, Miko mengiakan dan Arraf pergi setelah obat pemicu adrenalin itu dibuat. Sementara itu, Riv tak habis pikir bagaimana mungkin Arraf mau membiarkan pemain-pemain mengonsumsi obat pemicu adrenalin buatan mahasiswa, bukan apoteker resmi. Hari ini memang ada beberapa pertandingan dan Riv sudah mendengar gosip tentang beberapa pemain andalan yang harus mengikuti dua kali pertandingan di cabor berbeda malam ini.

Riv hanya belum tahu bahwa salah satu dari pemain andalan itu adalah Arraf.

Sehingga Arraf tak menjadikan para pemain itu sebagai kelinci percobaan. Tidak. Sebab dia sendiri juga mengonsumsi obat pemicu adrenalin buatan Miko itu.

Riv menonton dua pertandingan FMIPA berturut-turut malam itu. Voli putra dan futsal putra berturut-turut dengan Arraf ikut sebagai pemain. Pada pertandingan futsal, Arraf terlihat seolah tak kehabisan tenaga. Dan, Riv tahu alasannya. Lelaki itu akan langsung tepar keesokan pagi bersama lelaki lain yang mengikuti dua cabor dan bertanding hari ini berturut-turut.

Semua rangkaian usaha itu berbuah hasil ketika dua minggu kemudian, FMIPA dinyatakan sebagai pemenang juara satu Oksigen.

Malam hari setelah pengumuman dan penutupan Oksigen yang berlangsung di gymnasium itu usai, Arraf terlihat tersenyum puas dengan mata berkilat. Dia naik ke atas mimbar kayu tinggi untuk pemimpin supporter FMIPA, seketika membuat semua mata terpasung kepadanya seorang. Arraf bagai bintang besar yang berpendar terang dan semua benda langit berputar mengelilinginya. Dan layaknya singa mengaum, Arraf mengambil perhatian dengan dua kali mengetukkan tongkat maskot FMIPA dan berteriak, "SIAPA YANG MEMBAWA KEMENANGAN HARI INI?"

"VIVA VIVA FMIPA!" seru para mahasiswa FMIPA di tengah gemuruh tepuk tangan dalam gymnasium itu.

Arraf menyengir puas dengan latar sorakan-sorakan semua pendukung FMIPA. Kemudian, dia melanjutkan, "GIMANA RASANYA BERADA DI ATAS ANGIN?"

Semua terbahak dan sorakan semakin kencang dan gaduh. Mereka bersorak akan kemenangan, bertepuk tangan kencang, sementara beberapa mahasiswa memukul tabuh supporter dengan stik drum. Semua terlihat bahagia, bangga dan puas. Hingga kemudian setelah berjargon ria bersama piala di tangan salah satu pemain, ada seorang mahasiswa fakultas lain berjalan melewati mereka.

"WOI! ONTA ARAP!" seru seorang mahasiswa FT — terlihat dari dresscode kemeja lapang Fakultas Teknik yang dia kenakan — yang berjalan melewati tribun FMIPA. Arraf menoleh ke bawah dari mimbar kayu. "FMIPA awas terbang ketinggian! Ntar elo-elo pada jatuh. Kalau, jatuh, sakit, nggak bisa bikin laprak!" lanjut mahasiswa itu sambil terbahak bersama teman-temannya.

Rotasi dan RevolusiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ