Mereka memberi afeksi dengan total, tak tanggung-tanggung, tak ada sisa barang sepercik untuk sekadar jaga-jaga kalau sang penerima tak bisa lagi coba terima, atau menerima dalam kelesapan. Lalu mereka kepayahan, bahkan tatkala untaian kata beterban...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jungkook berpikir bahwa yang terbaik adalah ketika dia tersenyum menyambut para kakak setelah dia menangis untuk kesakitannya sendiri. Pokoknya, dia hanya harus bersikap biasa, manja seperti biasa, tertawa seperti biasa, bercanda dan menggoda semua kakak sehingga dia akan mendapatkan ungkapan-ungkapan penuh kekesalan. Tapi sepertinya dia benar-benar salah langkah, atau memang para kakak yang terlalu terjebak dalam ketakutan, sehingga mereka terlalu lembut lebih dari biasanya. Mengikuti apa maunya, seperti pesuruh dan Jungkook adalah raja. Dan itu membuatnya sakit entah untuk alasan apa.
"Apa karena aku sebentar lagi akan mati?"
"Kau tidak harus mengatakan itu. Apa maksudmu, Jungkookie?" Itu adalah Jimin, adalah sebab Jungkook berani berucap macam-macam karena Jimin tidak akan pernah membentaknya kendatipun sang kakak luar biasa marah. Tidak, Jimin tidak pernah bisa marah padanya, atau bahkan pada kakaknya yang lain. Jadi Jungkook tahu kalau Jimin akan bertanya dengan lembut walau Jungkook tahu kakak termuda kedua sakit akan ucapannya. Jimin berucap sambil menyodorkan potongan apel ke mulut Jungkook. "Kau tidak akan mati. Percaya padaku. Dan, jangan katakan ini di hadapan kakakmu yang lain, oke?"
Jungkook melahap potongan apelnya tanpa minat, dan mendesah. "Aku tidak tahu," katanya dengan wajah sendu. "Menurut Kak Jimin, bagaimana aku harus bersikap pada kalian? Kalian ingin aku bagaimana sehingga kalian akan merasa lebih baik? Aku sudah bilang karena ada kalian, aku akan baik-baik saja. Aku percaya padamu, jadi kau harus percaya ucapanmu. Dan seharusnya kakak yang lain juga."
Jungkook turun dari ranjangnya. Berdiri di depan jendela, membelakangi Jimin dan sang kakak tahu dia tidak harus menghampiri Jungkook. "Aku percaya," katanya menanggapi ucapan Jungkook setelah beberapa menit berlalu.
"Ekspresi takutmu bahkan yang paling menonjol, Kak."
"Jungkookie tahu bagaimana aku, tapi aku percaya." Ucapan Jimin membuat Jungkook berbalik menatap matanya. Jungkook menyimpan ekspresinya sehingga Jimin menghela napas sebelum berucap dengan tawa kecil sebelumnya. "Hei, apa kau melupakan bagaimana perasaanmu ketika mendengar kabar aku dan Taehyung kecelakaan? Aku bahkan harus latihan berjalan lagi dan Taehyung memiliki luka kecil di wajah yang mungkin tidak akan hilang. Bagaimana perasaanmu ketika melihatku dan Taehyung terlihat sekarat? Kau berpikir bagaimana kalau kita mati, kau belum memberi apa pun, kau tidak mau kehilangan untuk yang ke sekian kali. Bagaimana-"
"Aku hancur." Jungkook ingin menangis. Para kakak pasti membayangkan yang lebih jauh, pasti disertai rasa bersalah, pasti disertai penyesalan tak terbatas, dan pasti jauh lebih hancur dari dia. Mereka berjanji akan menjaganya, tapi mereka tetap tak mampu melawan takdir. Mereka barangkali frustasi, dan sulit untuk pulih selain mendengar bahwa Jungkook benar-benar menang dari penyakitnya. "Aku hancur," katanya lagi, menghampiri Jimin, menciptakan hening dalam kamarnya untuk sejenak. "Aku seperti hanya membawa kesedihan. Aku ingin membuat Kak Jimin bahagia, dan semua kakak. Aku meyakinkan itu berkali-kali pada Mingyu sehingga dia mengizinkanku menemui kalian. Aku ingin membuktikan itu."