Mereka memberi afeksi dengan total, tak tanggung-tanggung, tak ada sisa barang sepercik untuk sekadar jaga-jaga kalau sang penerima tak bisa lagi coba terima, atau menerima dalam kelesapan. Lalu mereka kepayahan, bahkan tatkala untaian kata beterban...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aroma kayu mahoni dan kayu jati rasanya tidak pernah hilang dari rumah mereka. Jungkook berada dalam euforia.
Pada awal kedatangan mereka, halaman rumah dipenuhi oleh oleh salju-salju yang begitu putih, pohon dengan daun yang berguguran atau menguning, dan uap dari napas yang mereka embuskan ketika berbicara dengan riang. Dan kalau saja mereka datang pada musim semi, barangkali yang pertama ditemukan adalah rumput dan bunga liar yang sudah meninggi, daun-daun yang berserakan, dan aroma musim gugur. Tak ada syal yang melilit, tak ada tubuh yang terasa membeku. Dan tak ada Taehyung yang begitu berseri-seri dengan binar mata seolah berkata, "Ayo beri aku hadiah yang banyak atau si tampan Lee ini akan berubah menjadi hantu teror bahkan ketika kau sedang menggali harta karun di lubang hidung."
Tapi rasanya luar biasa sekali sebab kehangatan tidak terkikis sebanyak apa pun salju yang turun. Dan untuk banyak alasan tentang segala hal yang perlahan membaik, Jungkook kemudian terbawa pada memori lamanya. Tentang pertemuan pertamanya dengan keenam bintang yang paling terang. Dalam festival lampion pada beberapa tahun yang lalu.
Itu percobaan kelimanya untuk kabur dari Jeon Sihoo dan dia benar-benar berharap kalau akhir yang didapat akan berbeda. Dia tidak akan lagi ditemukan untuk kemudian bertemu pada titik di mana dirinya akan merasa ketakutan luar biasa. Dan walau Jungkook menyadari kalau suhu tubuhnya semakin meninggi dengan kepala yang pening sekali, ia tetap melanjutkan langkah tertatihnya tanpa mau beristirahat. Takut ayah akan menarik kerah bajunya dan menyeret dia pulang, lalu kepalanya dimasukan ke dalam air sampai dia berkali-kali merasakan bagaimana tersiksanya tak bisa bernapas walau ingin, lalu berakhir mengucapkan selamat datang pada sepatu pantofel milik ayah.
Menggeleng berkali-kali, Jungkook lantas mempercepat langkahnya. Melewati jalanan yang sepi, lalu ramai yang membeludak sebab festival lampion yang akan segera mencapai puncak. Hanya tinggal menyalakan lilin dan membiarkan lampion terbang bersama pesan yang terselip dalam gulungan kertas. Dan kalau saja Jungkook tidak sedang dalam masa pelarian, memiliki uang untuk membeli sebuah lampion, dan memiliki teman, barangkali dia pun akan menikmati ini sejenak. Lalu menerbangkan sebuah harapan agar bisa kembali jatuh dan bertransformasi menjadi kenyataan.
Terlebih, ketika telinganya yang berdengung, kedua matanya yang buram, menangkap kehangatan seperti susu jahe di pagi hari dari sekumpulan lelaki yang dia yakini sebagai saudara.
"Harusnya Taehyung yang lilinnya terakhir dinyalakan!"
"Tidak, ya. Kau ini diciptakan untuk berada di bawahku, di belakangku, lebih pendek dariku! Ha, apa?! Tidak usah sok melotot begitu. Kasihan mata sipitmu merasa tertolak kehadirannya."
"Yang nilai ulangan matematikanya dua koma nol tidak malu sok luar biasa? Hi, kalau aku sih biar mata sipit seperti ini masih punya malu. Kak Yoongi pasti setuju denganku."