Bagian Delapan

3.5K 445 77
                                    

"Operasinya tidak berhasil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Operasinya tidak berhasil. Namjoon, bagaimana ini?"

Dinding bertabrakan dengan tubuhnya. Namjoon tidak pernah berpikir kalau itu akan mendatangkan sakit yang luar biasa sampai sepersekon selanjutnya ia sudah meneteskan air mata. Dan bukan hanya ia, tapi semua saudaranya. Mereka menggunakan pakaian hitam, bahu bergetar, isak tangis terdengar, bahkan teriakan dari dua termuda. Tidak, bukankah seharusnya ada tiga?

"Di mana Jungkook?" Namjoon memegang bahu Seokjin dan melihat raut putus asa. Lalu menatap ke sekeliling; koridor rumah sakit, hujan yang membasahi di luar ruangan, dan kertas berisi rancangan bangunan yang ia buat bersama Yoongi berserakan di lantai. Kembali menatap Seokjin dan berkata nyaris memekik. "Kak, di mana Jungkook?!"

Namun alih-alih menjawab, Seokjin malah membawanya pada sebuah pelukan walau ia tidak bisa merasa hangat atau tenang, bahagia atau bersyukur. Tidak bisa. Lantas Seokjin berkata, "Dengar, operasinya tidak berhasil. Jungkook kita ... Namjoon. Dia kalah." Dan Namjoon benar-benar merasa--untuk pertama kalinya-- pelukan Seokjin tidak memberikan efek apa pun. Tidak mengubah apa-apa untuk apa pun yang membuatnya terluka. Hanya saja bagi logika ataupun perasaannya, sebuah pelukan tak akan cukup untuk mengobati sebuah kehilangan.

Tidak, tidak.

Namjoon menggeleng keras. Ia menolak tentang kehilangan apa pun lagi. "Kak, aku tidak memerlukan lelucon apa pun. Leluconmu gagal di waktu yang tidak tepat."

"Kalau begitu, teruslah berpikir bahwa ini hanya lelucon. Berpikir bahwa adik dan kakakmu menangis karena leluconku kelewat buruk." Seokjin melepas pelukannya. Memandang Namjoon dengan tatapan terluka. "Berpikir bahwa aku benar-benar memiliki waktu untuk melakukan itu! Berpikir bahwa aku mampu menganggap kematian adikku sebagai lelucon! Ya, anggap saja begitu!"

"Persetan!"

Seokjin menghela napas dengan kasar. Keluarganya tidak mengizinkan kalimat kasar terlontar dan Namjoon telah melanggar hal tersebut di hadapan kakak tertua, untuk kakak tertua. Akan tetapi untuk memberikan sebuah hukuman pada adiknya yang terguncang, yang kewarasannya barangkali melayang, Seokjin tidak bisa berbuat apa pun yang akan melukai adiknya. Sebab hanya dengan menuntunnya masuk ke dalam sebuah ruangan tempat satu ranjang berisi seseorang yang dari ujung rambut sampai telapak kaki tertutupi kain putih, Seokjin yakin itu sudah telak membuat hancur adiknya. Total hancur oleh realita.

Kendatipun perlahan dan berat, Namjoon tetap melangkah mendekati objek yang membuat air matanya turun tanpa terkendali. Dadanya sakit sekali. Dan ketika ia membuka separuh kain--memperlihatkan wajah pucat si bungsu yang pernah ia tinggalkan; yang mengemis untuk tetap menjadi anggota ke tujuh; yang berkata bahwa dunianya hanya para kakak-- Namjoon tidak tahu lagi apa yang cocok untuk mendeskripsikan perasaannya; kehancuran dirinya.

Affection Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang