Sunset

5.7K 73 5
                                    

              Sedari tadi Tari hanya tertunduk lemas. Sudah shock gara-gara perkataan Ata yang waktu itu, di tambah yang barusan, di tambah lagi ulahnya si Ari yang emang rajanya nyebelin, kok. “Jadi nysesel deh di kasih nama ada Matahari-nya,” dumel Tari pelan tapi masih mampu Ari dengarkan.

                Diam-diam Ari jadi berfikir keras kembali. Bisa di rasakannya kejanggalan setelah badai yang berputar itu berakhir. Ari juga sedikit heran, ada gerangan apa Tari jadi sering ngedumel nggak jelas dalam hari ini. Sudah tak terhitung banyaknya.

                “Lo ngapain sih ngedumel terus dari tadi? Bisa diem nggak sih tuh mulut?” pancing Ari tanpa Tari sadari. Tari sontak mendongakkan muka, lantas menatap manik mata hitam yang jalan duluan di depannya. Mereka saat ini sedang jalan menuju parkiran motor. Cuma melototin aja sih, Tari lagi malas menjawab. Makin rame ntar kalo dia bales hal yang nggak penting. Dan jawaban atas diamnya Tari membuat Ari sadar, ada yang nggak beres di balik ini semua.

                Selama dia punya urusan sama Angga, Tari masih sering memberikan sikap kooperatif. Nggak banyak diam seperti ini, pasti selalu akan menjawab. Sudah Ari coba untuk memancing Tari ­—seenggaknya dia ngasih bocoran atas keceplosan dari emosi yang di tuangkan. Mulai dari menyapa sayang, darling, honey.

                Atau dengan membentak-bentak Tari karena dia tidak segera memberikan respons. Tapi tetap saja, Tari hanya diam dengan tatapan datar mengarah kepada Ari. Fio sendiri yang melihat Ari menjemput Tari sambil ngomong ngelantur sana-sini langsung tercekat. Dan yang bikin Fio makin tercengang lagi Tari tumben-tumbennya tahan sama Ari yang mendadak ngomel nggak jelas.

Setelah pemberitahuan mendadak datang dari Ata, Tari hanya memasang muka pucat pasi kembali menuju kelas. Ia belum memberikan jawaban apa pun buat Ata. Ia hanya meninggalkan Ata sendirian dengan jawaban yang masih menjadi tanda tanya. Masih menggantung di udara.

Jadi bentuk penyerangan Ari untuknya saat ia menjemput ke kelas, adalah salah satu batu kerikil yang nggak sama sekali terasa sakit jika terinjak dengan kaki telanjang. Karena terlalu lelahnya Tari memikul beban yang terjadi di antara kembar yang menyandang nama pusat tata surya.

Sesampainya di belakang motor hitam milik Ari, Ari meraih tangan Tari. Menyadarkan Tari dari segala beban yang ia pikirkan saat ini. Tari kontan menatap tangannya yang di pegang Ari. Pelan-pelan, seakan tangannya adalah salah satu kerapuhan.

“Tar, lo kenapa?” tanya Ari tegas. Namun tersirat juga intonasi lembut di dalamnya. Ari sudah tidak tahan dengan segala bentuk tanda tanya yang ia lontarkan untuk Tari. Tari tetap diam saja. Bingung untuk memulai cerita dari yang mana dulu.

“Kalo lo nggak mau cerita, gue timpuk pake nih motor deh. Gue lebih suka liat lo yang ngelawan tindakan aneh gue, daripada diem nggak jelas kayak patung,” lanjut Ari.

Nyadar juga nih anak kalo dia sama kelakuannya emang sama-sama aneh, desis Tari. Tari terus berpikir keras, gue harus ngomong kayak gimana ya sama Ari. Masalahnya kalo Tari cerita detail apa yang Ata omongin atau serangan Ata yang mendadak, bisa berabe. Ari baru bertemu dengan saudara kembarnya beberapa hari. Setelah sekian lamanya mereka tak jumpa, apa harus lagi membuat mereka jadi jaga jarak?

Nggak mungkin juga kan, kalau Tari akan melakukan hal itu? Tari juga bisa membayangkan apa nantinya yang akan terjadi. Bukan pertumpahan darah secara harfiah, tapi pertumpahan darah yang tak kasat mata. Hanya orang yang terlibat yang merasakan tajamnya bambu runcing ghaib itu. Akan terasa lebih sakit dari arti harfiahnya.

Maka, Tari memilih untuk menyembunyikan apa yang terjadi sementara waktu. Setidaknya Ata masih belum sepenuhnya turun tangan ke medan perang. Belum ada serangan yang bisa di anggap fatal.

Jingga untuk Matahari (FanFiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang