Bab 23 - Keputusan Malika

21.1K 1.9K 7
                                    

   Pagi pertama Malika bebas dari penjara disambut oleh mendungnya awan Jakarta, Malika sendiri sudah rapi dengan kaos lengan panjang dan rok mekar selutut yang siap menemaninya menjemput Rere. Yah, hari itu Rere bebas dari penjara atas tuduhan yang tidak dilakukannya. Nasib keduanya yang hampir sama membuat Rere dan Malika sangat dekat.

   “Non Malika perginya sama siapa?” tanya Mbok Salmi saat melihat Malika sudah rapi.

   “Naik taxi saja Mbok sendirian, lagi pula aku mau ke kantor Arthur dulu ada yang mau Arthur omongin katanya,” jawab Malika yang sedang mengikat tali sepatunya.

   “Ya sudah kalau gitu Non hati-hati ya,” pesan Mbok Salmi yang mengantar Malika sampai ke pintu depan, di luar pagar taxi sudah menunggu Malika.

   Selama perjalanan menuju kantor Arthur, benak Malika bertanya-tanya tentang apa yang akan Arthur bicarakan. Walaupun di dalam hati Malika paham pasti Arthur akan membahas tentang perempuan tadi malam yang namanya saja tidak dia ketahui. “Mbak sampai sini saja ya? Soalnya di depan sana macet,” sopir taxi membuyarkan lamunan Malika.

   Malika melihat taxi berhenti di persimpangan yang tidak terlalu jauh dari kantor Arthur dan memang jalanan saat itu terlihat sangat macet. “Ya sudah tidak apa-apa Pak saya turun di sini saja,” kata Malika dan mengeluarkan uang untuk membayar taxi.

   Perjalanan dari persimpangan menuju kantor Arthur meman tidak lah jauh hanya memakan waktu beberapa menit saja, tetapi saat Malika sampai di depan gedung kantor Arthur, matanya tidak sengaja menangkap sosok Arthur dan perempuan yang tadi malam duduk bersama di cafe seberang.

   Keduanya duduk di bawah kursi berpayung di luar cafe sambil terlihat sedang berbicara serius, “tenang Malika jangan bertindak gegabah,” ujar Malika lebih kepada dirinya sendiri.

   Malika pun memilih untuk menunggu Arthur di kantornya, logika Malika ternyata masih menang banyak dibanding hatinya. “Aku bukan siapa-siapa Arthur yang berhak melarangnya bertemu dengan orang lain,” begitulah ucap Malika untuk meyakinkan hatinya yang terasa perih.

   “Malika apa kabar?” bukannya Arthur yang datang, akan tetapi Bima yang muncul, dia menemui Malika di dalam ruangan Arthur.

   “Kabar baik,” jawab Malika dengan ekspresinya yang bingung.

   “Kamu pasti bingung ya melihat aku menemuimu. Jadi begini, Arthur menugaskanku untuk mendampingi kamu dalam proses pengadilan kasus pencemaran nama baikmu Malika, maka dari itu aku yang bertemu denganmu,” jelas Bima langsung.

   “Tetapi aku tidak ingin melayangkan tuntutan atas pencemaran nama baikku,” kata Malika tegas, dia jelas tidak ingin lebih pusing lagi akan hal tersebut. Baginya keluar dari penjara seperti sekarang sudah lebih dari cukup.

   “Malika ini cara terbaik untuk mengembalikan namamu,” Bima mencoba meyakinkan Malika.

   “Keputusanku sudah bulat, aku tidak akan melayangkan tuntutan tersebut. Lagi pula masyarakat sudah tahu kebenaran semuanya dari berita!” nada suara Malika meninggi dan keputusannya benar-benar sudah sangat bulat. “Saya permisi,” Malika langsung berdiri dari duduknya dan meninggalkan ruangan Arthur.

   “Tunggu Malika!” panggil Bima yang berusaha mengejar Malika, tetapi akhirnya Bima pun membiarkan Malika pergi dengan keputusannya yang sudah paten tersebut.

   Saat Malika sampai, Rere sudah berada di ruang tunggu bersama pengacaranya. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu hal yang serius, untuk itu Malika menunggunya di luar ruangan. Malika menyendarkan badannya pada dinding, perlahan-lahan dia mencoba menenangkan detak jantungnya berirama cepat, terlalu banyak kenangan untuknya di sini. Kenangan pahit dan indah secara bersamaan, pahit karena nasib membawanya menjadi tersangka pembunuhan dan indah karena Tuhan punya rencana lain dengan memberikan dirinya sosok laki-laki yang begitu sempurna memperjuangkan keadilan untuknya.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang