Mereka memberi afeksi dengan total, tak tanggung-tanggung, tak ada sisa barang sepercik untuk sekadar jaga-jaga kalau sang penerima tak bisa lagi coba terima, atau menerima dalam kelesapan. Lalu mereka kepayahan, bahkan tatkala untaian kata beterban...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tubuhnya meluruh di lantai yang dingin. Seokjin bertanya-tanya apakah jika dia datang beberapa menit lebih lambat, tidak berlari seperti jalan yang dia pijaki akan runtuh kalau dia tidak cepat, barangkali dia tidak akan mendengar percakapan kedua adiknya dari balik pintu yang sedikit terbuka. Seokjin bertanya-tanya apakah mengetahui si bungsu yang sakit sekarang dapat membuat keadaan menjadi lebih baik. Seokjin bertanya-tanya apakah penyesalan yang tidak pernah berhenti ini akan dilabeli kata konstan. Pikirannya bermuara tapi dia terpasung tanpa kata.
Dia merasa sudah ditenggelamkan dalam ketakutan.
Umur 32 dengan gelar sebagai yang tertua membuat Seokjin bertindak dengan melihat apakah itu akan menjadi yang terbaik untuk adik-adiknya. Hanya saja untuk kali itu, tepat ketika dia melihat dua termuda hancur dalam ketakutan, pun dengan adik-adiknya yang lain berada dalam keterpurukan setelah Jungkook mengajak mereka bertemu dengan ayahnya di dalam penjara. Berkata dengan bangga bahwa ayahnya sudah menyerahkan diri dan mengajak mereka bertemu. Lalu setelah itu terdengar tawa mengejek dari ayah yang Jungkook anggap berengsek.
"Aku yang membunuh orangtua mereka, Jungkook. Apa ini mengejutkan untukmu?"
Menyaksikan bagaimana Jeon Sihoo menikmati ekspresi kecewa, marah, dan tak berdaya dari adik-adiknya pada presensi pembunuh orangtua mereka, dan bagaimana mereka perlahan meninggalkan Jungkook yang berlaku seperti patung, sama sepertinya. Ada ratusan makian yang adik-adiknya keluarkan. Yoongi menjadi satu-satunya yang mencoba menenangkan, menarik mereka keluar dan menyembunyikan tangannya yang terluka oleh kuku sendiri, yang Seokjin obati ketika malam tiba dan adik-adiknya yang lain sudah tertidur dalam tangisan.
Jungkook dibawanya pulang. Dalam kebisuan. Anak itu menangis tanpa suara dan Seokjin tidak memiliki tenaga untuk menghentikannya disaat wajah Jungkook membuat dia terbayang pada wajah Sihoo. Begitu memuakan dan menyiksa seperti meminum air bekas kobokan, atau barangkali jauh lebih parah dari itu.
Namun sekali pun tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Jungkook. Kendatipun lantas berubah begitu saja ketika adik-adiknya enggan berinteraksi lagi dengan si bungsu. Barangkali semua hanya butuh waktu untuk sebuah penerimaan. Jadi Seokjin memutuskan membawa adik-adiknya menjauhi Jungkook. Menghindar untuk sementara sampai adik-adiknya benar-benar siap. Menyuruh Jungkook tinggal di rumah mereka dan kemudian mereka pergi tanpa kata. Jungkook barangkali mengerti dengan kecupan terakhirnya.
Seokjin membayangkan Jungkook yang menangis setiap hari, memanggil nama mereka satu per satu, memaki Jeon Sihoo barangkali. Tapi Seokjin sudah pernah berjanji pada ayah untuk menjaga adik-adiknya, yang menurut logika harus jauh lebih diutamakan dibanding Jungkook, walau berakhir terus menyesal. Dia menunggu adik-adiknya kalah dalam keegoisan, berakhir seperti Yoongi. Maka dengan tangannya yang sedikit bergetar, dia mengambil ponsel dan bersiap menghubungi para adik, menantikan akan bagaimana reaksi mereka ketika sesuatu telah rusak.