Penyakit

18.7K 2.5K 870
                                    

Malam semakin larut namun kecanggungan yang dirasakan Reuben tidak mereda. Dia sudah tercebur dalam karena membahas soal kejujuran dan perasaan. Jadi kepalang tanggung, sekalian saja dia ungkapkan.

"Lo bersikap seolah kalo-" Reuben menarik napasnya. "Ini bukan gue kepedean ya, tapi sikap lo seolah suka... suka ke gue." Suaranya mencicit kecil di akhir kalimat.

Ben sendiri masih tidak mengerti kemana arahnya pembahasan ini. Padahal Reuben sudah malu sekali, dia ingin menjedotkan kepala ke meja kerja yang keras itu.

Selama ini perasaan janggal itu sudah muncul sejak sentuhan Ben di pipinya. Lalu berkembang semakin menjadi karena sikap perhatian pria itu yang membuatnya sebal.

Apa Ben tidak memahami perubahan yang terjadi? Dia tidak bisa melihat bagaimana reaksi Reuben saat ini?

"Ya, ya itu mungkin. Bisa jadi sih."

"Hah? Mungkin? Bisa jadi? Maksudnya gimana? Perasaan lo ke gue gimana?!" Reuben sudah menebalkan wajahnya, rasa malu sudah dia buang jauh-jauh.

Kalau bicara dengan Ben memang harus pelan-pelan dan langsung ke intinya. Itu pun jarang dia mengerti apa yang dikatakan, seperti sekarang. Dia planga-plongo saja.

"Kita kan, gak tau ke depannya gimana. Mungkin gue bakal suka, mungkin juga nggak."

"Kok lo santai amat sih? Ini gak wajar loh, kita ini gak seharusnya kaya gini. Gue juga gak seharusnya bisa punya perasaan begini."

"Oh, lo suka sama gue? Menurut gue biasa, semua orang bisa suka sama siapa aja."

Reuben makin terperangah mendengarnya. Apa pandangan Ben tentang hubungan sesama jenis itu berbeda dengan pandangannya? Tapi masa iya orang sepertinya bisa secuek itu.

"Iya sama siapa aja, kalo ke lawan jenis. Kita ini- lo ngerti kan maksud gue?"

"Lo suka gue, kan? Ya lo udah bilang tadi."

"Gue gak bilang! Lo sendiri yang berasumsi kaya gitu! Lagi kita ngebahas soal perasaan lo ke gue, kenapa jadi ngomongin gue suka sama lo apa nggak!"

"Tadi lo bilang 'gak seharusnya punya perasaan begini' ya berarti lo suka ke gue, kan?"

Reuben nyaris berteriak keras. "Ya Tuhan, Ben! Sikap lo, sikap lo itu... seakan suka ke gue." Sambil mengepalkan tangannya.

"Kan, gue udah bilang. Mungkin iya, mungkin nggak. Lagi kalo gue bakal suka sama lo nantinya emang bakal jadi masalah?"

"Ya masalah gila! Masa lo suka ke gue!" Rasanya Reuben mau menggorok lehernya sendiri. "Kalo sekarang gimana?"

"Sekarang? Gue sih ngerasa nyaman ngelakuin itu. Semua yang gue lakuin itu reflek, gak pake dipikir segala."

"Terus perasaan lo?! Gue tanya perasaan lo ke gue?!" Reuben sampai mengulangnya lagi.

"Mulai..."

"Tuh, kan! Mending kita berhenti." Reuben sudah kalang kabut sendiri.

Ben tetap dengan gayanya yang tidak ribet. Karena menurutnya soal perasaan itu tidak bisa dibantah, tidak bisa dihilangkan.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang