Jaket

16.3K 2.4K 188
                                    

Sesampainya di rumah Ben mendapati sepatu pantofel hitam yang begitu lama tidak dijumpainya. Tergeletak manis di rak dekat pintu masuk, dengan kilapannya yang dapat mengalihkan perhatian.

Sudah lebih dari tiga bulan Ben tidak bertemu. Rasanya selalu sama, seperti bertemu orang asing yang sebelumnya tidak dikenal.

"Kok malam pulangnya?" Demas berada di meja makan dengan segelas kopi di tangan.

"Abis main di rumah temen." Jawabnya singkat sembari melewati Demas yang mengikuti langkahnya dengan sorot mata.

Selalu saja percakapan singkat ini terjadi, tidak ada perkembangan. Sebenarnya jika mengira Demas adalah Ayah yang buruk dalam bersikap adalah salah. Dia memang hanya irit bicara dan lebih banyak bertindak.

Kalau di rumah seperti sekarang, dia malah rajin menengok Ben di kamar sebelum dirinya sendiri tidur. Tapi perhatian kecil itu tidak terlalu terlihat oleh anaknya, karena yang sesungguhnya diinginkan adalah kualitas waktu untuk dihabiskan bersama.

Karena keduanya gengsi untuk mengungkapkan apa yang dirasa, jadilah ada kesenggangan dalam komunikasi mereka.

"Benji, Ayah beli parfum kesukaan kamu. Ada di meja belajar." Demas berbicara dari luar kamar mandi karena Ben sedang membersihkan diri di dalam.

Tidak ada kata yang terucap, hanya deheman singkat sebagai balasan.

Selang beberapa menit, Ben keluar dan melihat pemberian Ayahnya. Parfum keluaran Giorgio Armani yang sebenarnya tidak pernah dia pakai sekalipun. Bahkan parfum yang sama dari pemberian Demas tahun lalu masih tersimpan rapi dalam kotak di lemari.

Dia hanya menggunakannya sekali di depan Demas dan menyukai wanginya. Namun terus saja Ayahnya itu membelikan barang yang sama tiap dia pulang ke rumah.

Itulah alasan kenapa Reuben selalu berkata bahwa jaket atau pakaian yang dikenakan Ben bau, karena dia tidak pernah pakai parfum. Terlebih dia sering kena hukuman yang menyebabkan badan berkeringat, jadilah aroma tidak sedap jadi ciri khasnya.

Sementara di tempat lainnya dalam malam yang sama. Reuben kembali kambuh karena kepalanya pusing hingga dia muntah dan menyebabkan kekhawatiran Sonya muncul.

"Kamu kenapa selalu nolak untuk check up sih? Takutnya penyakit kamu kumat lagi." Sonya memijat belakang leher Reuben. Memaksanya untuk muntah agar tubuhnya terasa lebih baik.

"Udah, udah berhenti muntahnya." Dia meminum air hangat setalahnya. "Reuben males kalo harus rawat inap."

"Daripada terus begini, semenjak kamu ngeluh pusing waktu itu sampe sekarang jadi keterusan." Sonya tidak lelah menceramahi.

Reuben pun juga lelah menghadapi penyakit yang melanda akibat perkelahian saat di sekolah lamanya. Dia ingin sembuh, tapi selalu ada kekhawatiran jika pengobatan jangka panjang yang dilakukan malah akan gagal.

Disaat seperti ini, tidur adalah cara terbaik. Berharap esok hari sakit kepalanya akan menghilang.

"Mama inget apa yang dibilang dokter? Reuben mesti berobat ke Singapura." Ada sorot mata lelah yang terpancar. "Reuben gak mau pergi jauh dari sini."

•-•

Reuben berjalan sembari memakai minyak angin roll on di sekitaran lehernya. Memang kalau yang model begini wangi, tapi panasnya sama. Jadilah kulitnya yang merah dilihati oleh murid lain.

Apalagi sepanjang dia menuju kelas, tangannya tidak berhenti mengoles. Sudah seperti orang berumur yang sering merasakan pegal.

Alasan kenapa dia begini karena ketika bangun badannya terasa tidak enak. Juga masih ada sisa pusing di kepala. Sonya sudah melarangya ke sekolah tapi dia memikirkan absennya yang sering kali kosong.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang