Indigo

200 11 1
                                    


Saat itu tahun 2000, zaman milenium begitu mereka menyebutnya. Tumbuh dengan baik seorang anak perempuan berusia 6 tahun. Dengan kulit sawo matang, dan rambut ikal. Dirinya tampak tak berbeda dengan anak-anak lainnya. Suka bermain, tertawa riang dan sesekali usil juga cengeng.

Sebut namanya Sari. Sari hidup di keluarga yang utuh dengan dua saudara yang usianya cukup jauh dengan dirinya. Bapak ibu sari sibuk bekerja. Hingga tak jarang sepulang sekolah rumahnya sepi, tak berpenghuni.

Sebuah bangunan kayu, dengan pohon rambutan rindang meneduhi halaman yang tak begitu luas. Berbeda dengan halaman belakang yang luas, ditumbuhi pohon mangga, hingga bambu nan rindang. Tampak sangat teduh karena terik terpayungi dedaunan.

Di rumah itu, sari menghabiskan waktunya sembari menunggu bapak, ibunya pulang. Sesekali "Mbah Putri" menengok keadaan sari. Memastikan dirinya sudah di rumah.

Kedua kakak sari mulai tinggal di pesantren. Hingga tak ada yang menemaninya saat siang. Namun, dirinya tak pernah mengeluh, sama sekali tak pernah Sari protes merasa kesepian. Bocah TK ini memang cenderung pendiam.

Sewajarnya anak-anak, gadis yang sering berbaju kuning itu memilih bermain di belakang rumah. Tak jarang terdengar dirinya berbicara sendiri. Wajar untuk seusianya bermain imaginasi. Sesekali melompat juga berlari.

Menjelang sore, ibu sari sampai rumah. Ditemui anak bungsunya tak di rumah, sang ibu menengok lewat jendela kamar. Matanya menyapu area belakang yang asri dengan daun yang berserakan ditanah. Mungkin ibu lelah hingga dedaunan itu belum disapu.

Didapati sari yang sedang bersila, seakan mengobrol dengan seseorang. Dipanggillah Sari dari kejauhan,

"Nduk, sedang apa", dengan clingukan bibir kecil itu menjawab "Ibu sudah pulang?".

"Sini, ibuk belikan kamu jajan" lambai ibu Risma memanggil anaknya. Dengan langkah bersemangat Sari memasuki rumah lewat pintu belakang.

"Kamu main apa?" Tanya perempuan 30 tahun itu sembari menyodorkan cendol. "Main cublak cublak suweng" jawab sari singkat.
"Sama siapa?" Tanya bu Risma sambil memicingkan mata.
"Sama Temanku lah buk" jawab Sari tanpa mengalihkan pandangannya dari air santan yang diteguknya.

Tak ada yang perlu dicurigai, fikir bu Risma. Anaknya masih kecil untuk didekte.

Hingga siang itu bu risma pulang lebih awal. Sari berceloteh, berlarian memanggil nama Aisyah dan Dasmin.

"Tak ada siapa-siapa disini. Tak ada nama itu disekitar" batin bu risma sembari masih menguping pembicaraan mereka. Lantas siapa kah mereka?

***********

Tahun ketahun berlalu. Sari kecil kini tumbuh menjadi anak SMA yang tinggi jangkung melebihi saudara perempuannya. Wajahnya mulai berubah. Tampak ayu dengan mata sayu khas keluarganya.

Saat itu usianya 17 tahun. Ibunya mulai tidak bekerja. Namun fisiknya memang mulai lemah. Di usia Bu Risma yang baru 41 tahun tidak dinyana jika beliau mulai terkena struk ringan. Hingga separuh tubuhnya mulai susah dioptimalkan.

Tak ada yang tahu seberapa lama manusia akan hidup. Saat Sari baru beranjak dewasa. Ibu tercinta meninggalkan mereka. Sama sekali ibu 3 anak ini tidak pernah membahas cerita masa kecil sari pada kedua kakak dan ayahnya.

Kepergian Bu Risma terjadi pada subuh diruang ICU sebuah rumah sakit. Dengan peralatan medis yang menempel disana sini. Nafas terahirnya berhembus pukul 6 pagi ditemani hujan deras diluar. Disaksikan kakak perempuan Sari, Mbak Ani.

Hanya mbak Ani disana. Sari dan kelurga di rumah. Mengingat belakangan anak SMA ini sering jatuh sakit.

Meski sedari malam Sari merengek meminta ikut ke Rumah sakit. Dengan sekuat tenaga mbak Ani dan Kak Rahmat kakak laki-laki Sari menenangkannya supaya berkenan mendoakan Ibu dari rumah.

Bunyi sirene Ambulan sayup terdengar, beradu dengan suara derasnya hujan. Jenazah Bu Risma sampai rumah. Mata merah Sari Menyambut kepulangan ibunda tercinta.

"Nduk, kamu harus kuat. Mbak ada disini" Bisik mbak Ani menguatkan.
"Iya mbak, semalam ibuk udah Pamitan ke Sari". Jawabnya sembari menunduk.

Obrolan sederhana ini tak pernah di fikir oleh Mbak Ani. Mungkin saja wajar  yang tercinta berpamitan sebelum pergi. Hingga terjadi sebuah kejadian yang membuat mbak Ani berfikir ulang bahwa semunya bukan hal yang wajar.
*********

Rumah mulai sepi, semula mbak Ani, Sari juga kak Rahmat tidak begitu dekat. Karena masa kecil mereka yang nyaris tak pernah bersama.

Kerekatan terjalin semenjak Bu Risma tiada. Dari waktu ke waktu peran keibuan beralih pada mbak Ani. Saudara perempuan yang jaraknya 7 tahun ini kini menjadi sahabat, kakak juga ibu untuk Sari.

Hingga perbincangan antara mereka mulai meluas. Tak ada lagi yang di tutupi.

"Mbak mau tau tidak, kenapa dulu aku merasa tidak butuh sama kalian?" Sari membuka obrolan.
"Enggak tahu. Kenapa" saut mbak Ani sembari melipat baju.
"Meski tanpa kalian, aku punya banyak teman". Sambung Sari.
"Oh si Lala, Eka juga Rahma itu?" Perempuan 24 tahun itu menyebut satu petsatu nama teman masa kecil Sari.
"Bukan" mata mereka beradu.
"Maksud kamu?" Telisik mbak Ani penasaran.
"Iya, ada teman yang kalian tidak lihat bermain dengan ku. Aku cukup bahagia meski tanpa kalian".
"Sik sik, mbak belum paham", tangan mbak Ani mulai melepas tumpukan pakaiannya.

"Aku bisa lihat yang kalian tidak lihat. Terdengar tidak logis memang mbak, tapi ini terjadi" papar Sari singkat.
"sampai sekarang, aku punya teman yang tidak pernah aku temui. Tapi kami saling kenal. Dia manusia. Dan pada ahirnya kami bisa Sms-an selayaknya kenal. Bukan lewat Facebook atau mengacak nomer hp" Sambungnya membuat kakak perempuanya mengerutkan dahi isyarat kebingungannya.

"Mbak gak perlu mikir panjang. Karena gak akan menemukan penjelasan ilmiyahnya. Tapi diantara kalian ada orang seperti aku. Kami tidak bahagia dengan yang terjadi pada diri kami". Suaranya mulai lirih.
"Ketika ada keluarga dekat meninggal seakan mereka berpamitan lebih dulu. Sebagaimana ibuk dulu berpamitan pada ku". Air matanya  berlinang.
"Mbak gak tau apa yang kamu rasa. Tapi pasti berat untuk kamu jalani". Tangan lentik mbak Ani mengelus pundak sari yang menundukkan kepalanya.

"Nanti suatu saat jika Mbak Ani punya anak, jangan biarkan mereka jauh dari orang tuanya, jangan beri celah mereka kesepian hingga ada mereka dari dunia sana mendekat, jangan biarkan anak-anak mbak tumbuh tanpa pendampingan" pesan Sari Panjang lebar.
"Tapi kan gak semua anak memiliki kemampuan seperti kamu nduk" tukas mbak Ani seakan meminta penjelasan lebih.

"Iya mbak, memang. Tak ada yang tau hal seperti ini akan dilimpahkan pada anak siapa. Jadi setidaknya dengan pendampingan, intensitas bersinggungan dengan perkara ghoib lebih kecil". Jawab Sari dengan bahasa sedikit intelektual bias dari hobi membacanya.
"Yang terpenting, supaya anak mbak jadi yang lebih terbuka. Ada apa aja mau cerita. Meski masih kecil buat anak-anak mbak pandai bercerita. Jika ada hal yang dirasa ganjil mbak bisa mendiskusikannya sama mereka, dan memberi penjelasan sederhana tentang kejadian pada diri mereka" Sari menghela nafas panjang.

"Jangan seperti ku, yang dulu tertutup karena tak terbiasa bercerita. Lebih merasa nyaman dengan dunia yang aku fikir nyata. Tak ada teman bicara". Tutupnya dengan mata yang masih mengalir.
Helaan nafas mbak ani terdengar sesak.
"Maafin mbak ya nduk, maafin kak Rahmat juga. Maaf untuk bapak ibu yang terlampau sibuk. Yang terpenting sekarang, kita sudah mulai lebih dekat. Jika terjadi apa-apa kamu bisa langsung cerita".

Kedua perempuan ini meleleh dalam keadaan yang sebelum nya tak pernah mereka fikirkan. Kehilangan tak melulu tentang luka. Tapi sebenarnya ada kedekatan yang sedang tertunda.

Jepara, 16 Januari 2018

Long Lasting LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang