Mereka memberi afeksi dengan total, tak tanggung-tanggung, tak ada sisa barang sepercik untuk sekadar jaga-jaga kalau sang penerima tak bisa lagi coba terima, atau menerima dalam kelesapan. Lalu mereka kepayahan, bahkan tatkala untaian kata beterban...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari ke enam puluh tiganya menetap di Kota Colmar. Merenung bersama croissant dengan chocolat chaud yang siap disantap ketika matahari belum terlalu tinggi, atau kadangkala memperhatikan rumah-rumah penduduk yang jendela dan pintunya dihias dengan aneka bunga juga daun menjalar. Sendiri, dalam tempat yang dikatakan sebagai negeri dongeng; indah dan penuh kebahagian.
Ah, dia juga penuh kebahagian sebagaimana definisi dari sebuah dongeng yang sesungguhnya. Yah, sesuatu yang tidak benar-benar terjadi. Dering ponsel menyadarkan bahwa dia masih belum berhasil mengatasi rasa takutnya pada kenyataan.
"Jungkook--"
"Aku belum mati, Mingyu." Jungkook mengambil uang dari kantung celana hitam selututnya. Berjalan menuju kasir dan membayar sarapan paginya seperti hari-hari biasa ketika dia mulai tinggal di Negara Perancis. Sinar matahari pagi menyapanya ketika lelaki itu keluar dari kafe. Terdiam menanggapi keterdiaman sahabatnya di balik telepon.
Kediaman Aguste Bartholdi yang kini telah Dimesiumkan kembali menyapa pandangannya. Jungkook meraba kamera yang selalu dia kalungkan ketika keluar dari penginapan, ingin kembali memotret walau dengan pemandangan yang sama. Menghabiskan waktu mengabadikan keindahan dan berharap kalau itu akan menular padanya, walau dia sadar bahwa keindahan yang dia mau bukanlah pesona negeri dongeng, tetapi presensi mereka.
"Mingyu, kututup teleponnya kalau kau hanya ingin menghabiskan pulsamu."
"Jangan!" Mingyu sedikit membentak dengan suara tercekat. Lelaki itu menyemburkan napas. Gelisah. "Jungkook, kau belum menemui mereka?"
Jungkook tetap melangkah, berniat kembali ke rumah dan tidur saja sebab pertanyaan Mingyu membawanya pada sebuah kesempatan yang dia undur pakai dalam pijakan pertama dia di kota asing. Membuat dia merasa kepayahan. Dia tertawa paksa. "Aku melihat mereka, tapi tak membiarkan mereka melihatku. Kukira semua akan berjalan singkat secepat kita mulai bersahabat. Ini lucu sekali karena aku takut menghadapi reaksi mereka. Aku seperti--"
"Pulanglah."
"Aku memang dalam perjalanan."
"Tidak. Pulang ke Korea. Kembali padaku dan lupakan mereka. Aku lebih baik dari mereka yang meninggalkanmu."
Mingyu tak pernah mengatakannya lagi sejak hari di mana Jungkook meninggalkan Korea, dan dia tidak merasa terkejut walau mendengar kalimat tersebut lagi setelah sekian lama. Tapi sekalipun Jungkook berkali-kali maju selangkah, mundur selangkah, dan diam menggelisahkan tujuan, lelaki itu tetap tak berniat kembali seperti yang Mingyu inginkan.
"Mingyu." Jungkook menarik napas. Terasa sesak. Berpikir kalau merasa takut pada sesuatu yang dipertahankan banyak orang itu begitu konyol untuknya. Tapi Jungkook masih memiliki satu harapan untuk setiap hal yang dia lakukan. Sebuah jaminan pada dirinya sendiri untuk menetap di tempat ini. Sesuatu yang membuatnya berani menyusul sekalipun masih memutuskan untuk sembunyi. "Aku hanya ingin kembali ke rumah utamaku. Walau pintunya terkunci rapat, walau aku tak memiliki kunci untuk membukanya, walau pintu itu tak akan dibukakan sekalipun aku mengetuk-ngetuknya sampai tanganku hancur lebur."