Chapter 3 (Erik's Side)

Start from the beginning
                                    

"Kenapa Mba Fera?"

"Kelas yang reguler udah beres Rik?" tanya Mba Fera sambil membetulkan posisi duduk di atas kursi kerja.

"Udah kok, Mba. Kira-kira ada kelas lain lagi ngga?"

"Nah kebetulan banget," tangan kanannya menggulir mouse dan mengklik kiri beberapa kali, "Untung Erik langsung dateng ke sini, kalo ngga saya bisa lupa ngasih tau. Nanti jam 12 ada kelas privat IPS yang buat ujian masuk universitas itu."

Aku mengingat-ingat apakah setelah ini memang ada kelas privat atau tidak. Lantas kubuka buku catatan kecil dari saku dan mengecek apakah ada tulisan 'privat IPS' yang berwarna biru. Tidak ada. Apakah murid yang bersangkutan baru mengonfirmasi pagi ini?

Kalau benar begitu, mau tidak mau aku harus menunda jam makan siangku hingga pukul 2 nanti. Itu artinya aku tak akan dapat diskon makan siang tepat waktu. Tetapi tak apalah. Lagipula di pertengahan bulan ini uangku belum banyak terpakai.

Sesuai informasi Mba Fera, aku mengarah ke bangku nomor 10 untuk menunggu murid privat yang akan mengambil kelas IPS. Bangku itu langsung mengingatkanku pada sosok Yoana dengan kaus turtleneck merah yang ia kenakan saat pertama kali kami berjumpa hingga ketika mengerjakan soal latihan bersamaku.

Setelah menempati bangku yang menghadap ke pintu ruang belajar, mataku menelusuri setiap sudut untuk memindai siapa saja yang mengarah ke sini. Bangku di ruang belajar sudah terisi lebih dari setengahnya hingga membuat suasana lebih ramai dari biasanya.

Di antara beberapa murid yang mengenakan seragam putih abu, mataku kemudian menangkap bayangan seseorang yang semakin mendekati bangku nomor 10. Rambut hitam legam yang tergerai melewati bahu rampingnya begitu kontras dengan kaus turtleneck berwarna coklat muda.

Murid itu ternyata Yoana.

Perempuan yang sempat menghiasi benakku sejak hari kemarin itu sempat tertegun melihatku. Dari balik mata sayu yang kini agak membelalak itu mungkin terkejut dengan pertemuan kami yang kedua kali. Kedua mata yang tadinya menatap mataku tampak mulai dialihkan ke sudut lain dari wajahku.

"Hai Yoana, selamat siang. Ngga nyangka ya kita ketemu lagi"
Ia hanya bergumam sedikit menanggapi basa-basiku yang garing. Kini perempuan itu duduk di hadapanku setelah menaruh ransel yang agak kecil di atas meja. Gumam kecil darinya dilanjut oleh senyum simpul sebelum akhirnya ia mengeluarkan buku latihan soal dan alat tulisnya.

"Hari ini mo belajar apa dulu? Langsung latihan soal atau materi?"

Yoana menatapku lurus sebelum ia menggulirkan pandangannya ke arah buku latihan. Keningnya yang berkerut semakin memperlihatkan bahwa ia belum menentukan rencana belajarnya dengan matang. Aku mengerti, mungkin karena di pertemuan kedua ini masih belum ada bayangan pasti mengenai kisi-kisi soal ujian. Rasanya aku pun pernah mengalami hal yang sama. Jadi aku menunggu jawabannya dengan sabar.

"Mungkin langsung soal latihan aja," jawab Yoana dengan aliran suara yang cukup lirih. Kedua tangannya membuka lembaran buku dan mencari soal yang dimaksud.

Saat mengajar, sesekali mataku dan matanya saling bertemu, tak sengaja bertatapan. Setiap hal itu terjadi, aku selalu berusaha mengalihkan atensi pada lembar soal geografi. Bila hal itu masih belum berhasil, aku memilih lebih banyak menulis di papan tulis meski hal itu sudah tertulis jelas dalam buku soal.

Kami tak banyak membicarakan hal di luar pelajaran. Yoana baru akan mengeluarkan suara lirihnya saat bingung dengan teori ekonomi. Dan aku hanya menjawab pertanyaannya sebisaku. Hal itu terus berlanjut hingga waktu dua jam pelajaran hampir selesai. Namun lama kelamaan aku merasa tersiksa dengan suasana yang semakin dingin. Mau tidak mau aku berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan sebagai penutup pelajaran hari ini.

RenaissanceWhere stories live. Discover now