Please, ijinkan aku kabur

144 17 0
                                    

Gila. ya, aku menangis laksana orang gila dalam kamar. Bagaimana mungkin ternyata diriku terjebak dalam lilitan rumit kehidupan ini. Niatku menjajak tanah Londo ini untuk melarikan diri, mendapatkan kebebasan seperti yang ku bayangkan dengan menempuh pendidikan tinggi setara dengan kaum pria. Tapi coba liat sekarang, entah aku bisa mencari kampus baru dalam waktu dekat atau tidak, aku malah terseret dalam pelarian bersama abdi dalem tak jelas bernama Didit.

Baiklah, ia memang bercerita tentang dirinya, tapi aku yakin masih ada yang disembunyikannya. Bayangkan saja, bagaimana aku harus menerima pernyataan gampang bahwa orang Indonesia yang ku liat di RS, di kafe, yang mengagetkanku di telepon umum itu ternyata temannya. Bagaimana mungkin orang biasa memiliki teman yang bersekolah di negeri Londo. Ke.na.pa?

Aku menangis sejadi-jadinya setelah lama ku tahan, campuran rasa marah-sedih-frustasi-kecewa-cemburu. Oke, perasaan terakhir terdengar aneh tapi pusat duniaku disini benar-benar berada dalam genggaman Didit, apa aku tidak layak cemburu?

"Yang Ndoro liat waktu itu di Rumah Sakit teman saya ketika di tanah air. Saya pernah ikut gerakan gerilya sebelum kesini. Seperti yang Ndoro liat, dia anak orang kaya, bangsawan yang sudah pasti menginginkan tanah air merdeka. Orangtuanya membiayai gerakan kami, sama seperti Bopo Ndoro. Kami.."

Didit masih berkicau dengan penjelasannya, tapi otakku tak bisa mengikutinya sebab tertahan oleh fakta dia mengetahui siapa Romo, apa? Kok bisa? Apa Dewi memberitahukannya? Jika memang benar, aku layak marah kepada Dewi. Tentu saja bukan alasan yang dicari sebab aku sebal kepada Didit yang disusupkan oleh Dewi. Tapi, Romo. Dia tahu tentang Romo dan gerakannya.

"Seberapa jauh kamu tahu?" tanyaku menyela penjelasan yang masih bersenandung.

"Hah?" Wajahnya binggung beberapa saat, sebelum kemudian berkata, "Ampun Ndoro, hal apa yang seberapa jauh?" Udara dingin malam ini tak berpengaruh, syarafku mati sebelum jangkauan angin menerpaku. Sunyi malam ini membuatku memejamkan mata, merasakan peringatan alam. Diriku terbiasa melakukan ini agar mudah mendengar kejujuran. Ku coba membaca Didit dan keterangan, apa aku harus mempercayainya?

Ia menunduk disana, bisa ku rasakan meski tak membuka mata. Anak ini sungguh aneh, aura bangsawan tak lepas dari dirinya, berpikiran cerdas dalam taktik. Siapa dia?

Ketika jawabannya akan ku dapatkan, seketika itu aku terlonjak kaget mendapati suara badan roboh menuju lantai. Saat ingin ku buka mata, ternyata semuanya gelap tak bersisa. Perlahan ku rasakan sakit di tubuhku, sebelum kesadaranku hilang, ku dengar suara laki-laki yang selalu jadi pelindungku disini, Didit berkata dengan lirih dan cemas, "Ndoro! Bertahanlah!"

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang