01,- jadi, begini awalnya

770 107 6
                                    

Kalau ada istilah karma doesn't exist, tolong percaya saja!

Aku mengalaminya sekarang. Terjebak gerimis hampir tengah malam dengan jalanan licin dan gelap di tambah lagi dengan sepi yang hakiki.

Sumpah ya! Kenapa coba mentang-mentang habis hujan dan sekarang gerimis saja orang-orang tidak berani keluar rumah? Kan nggak ada yang lihat aku yang meratapi nasib di tengah jalan gini.

Merutuk sendiri, menyesal sendiri, dan menyalahkan diri sendiri. Harusnya tadi aku langsung pulang. Bukan malah main sama teman sampai terjebak hujan dan makin telat pulang. Padahal hari ini sekolahnya pulang cepat.

Tapi malah bohong sama Ibu sendiri dan kena karma.

Si Ilham, alias motor matic warna merah gagah milikku sekarang jadi letoy. Setelah tadi ban-nya selip karena licin dan bikin aku jatuh ke aspal. Motor super punyaku ini jadi tidur dan nggak mau bangun.

Alias mogok!

Iya, bayangin sendiri aja deh coba. Jalanan licin habis hujan dan masih ada sisa-sisa gerimis rintik-rintik. Hampir tengah malam dan jalanan sepi.

Jadi, boleh aku nangis?

"Ibu...... Jojo takut....." Aku merengek kecil dengan pipi yang sudah basah sedari tadi.

Memandangi si Ilham yang berhasil aku berdirikan dengan gagah meskipun harus susah payah. Jalanan licin, ingat?

Dan lagi, aku cuma bisa mandangin Ilham karena emang aku nggak ngerti apa-apa soal mesin. Kan, aku anak Ibu dan Bapak bukan anak STM.

Oke, nggak lucu! Harusnya kan sedih karena aku juga lagi nangis. Menumpukan kepala diatas lutut biar seperti di film-film. Juga biar nggak dingin-dingin banget.

Ponsel mati, jalanan sepi, motor mogok. Coba, nikmat karma mana lagi yang kamu dustakan? Pokoknya jangan lagi-lagi deh, dan buat pelajaran juga, supaya jangan pernah membohongi orang tua sendiri. Apalagi Ibu.

Pasti ini udah ada yang teriakkin aku secara virtual. 'Sukurin! Bandel sih!'

Merasa ada sorot lampu yang mendekat aku mendongak. Sedikit bersemangat karena mungkin akan ada yang menolongku. Tapi luntur seketika saat tahu kalau motor yang mendekat pengendaranya anak muda.

Biasanya, kalau anak muda itu lebih cuek. Mana mau menolong, di lihat juga nggak mungkin. Paling aku di lirik doang terus di lewatin. Atau bahkan kalau ada jalan pintas, biasanya malah balik arah. Pura-pura nggak lihat.

Bi-a-sa-nya. Soalnya aku juga gitu. Kan aku anak muda. Anak muda minim amal maksudnya.

Eh, ternyata. Si pengendara ini nggak kayak aku. Buktinya, mereka berhenti tepat di belakang Ilham. Iya, mereka. Ternyata satu motor boncengan. Dan yang di belakang ternyata Kak Jeje.

Dia turun dan bergerak nyamperin aku yang masih duduk lusuh di samping Ilham.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku mendongak lurus menatap Kak Jeje yang berdiri menatapku agak panik. Mungkin karena lihat mataku yang sudah bengkak sekarang."Mogok....."

Aku menunjuk Ilham di depanku dengan telunjuk. Tidak berani bicara banyak pada Kak Jeje, soalnya kami cuma pernah satu SMP. Itupun aku yang tau dia, dia mah belum tentu tau aku.

Kak Jeje dan temannya terlihat berpandangan sebentar. Terus tak lama, temannya turun dan mencoba menyalakan Ilham dengan berbagai usaha namun gagal.

"Ah letoy lo, nyalain motor aja gak bisa. Laki bukan?" Kata Kak Jeje meledek temannya.

Setelah ngomong dengan nada sombong dan mengejek kayak gitu, Kak Jeje berdiri dan ikut mencoba menyalakan Ilham sementara temannya balik lagi duduk santai di motornya. Dan......

KAK BRIAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang