Bab Pertama

24.4K 436 2
                                    


Selamat menikmati

___________________

Langit kota Tasik masih tampak gelap. Jalanan tampak basah, sepertinya hujan kemarin tak lupa meninggalkan jejaknya. Ditambah kabut tebal yang menjalar dan suhu yang cukup rendah, memberikan kesan dingin yang mampu membuat tubuh menggigil tak karuan.

Di pagi buta ini, meskipun cuaca sedikit tak bersahabat, tak mengurungkan niat Fikri–ia memakai jaket tebal, sarung tangan, dan celana panjang yang akan membantunya melawan dinginnya udara–untuk pulang ke kampungnya setelah hari kemarin melaksanakan serangkaian kegiatan pelepasan santri kelas 3 SLTP-SLTA. Sejak kemarin malam, ia telah resmi menyandang gelar "alumnus" dari salah satu ponpes ternama di Tasikmalaya.

Perjalanan mondoknya yang cukup panjang telah berakhir. 6 tahun ia ditempa, 6 tahun juga ia merasakan bagaimana suka dan duka yang ada di dalamnya. Setelah ditempa dalam waktu yang cukup lama, sekarang ia tinggal menunjukkan taringnya. Ia harus kembali ke tanah kelahirannya dan menyebarkan serta mengamalkan ilmu yang telah ia dapat semasa mondok.

Pukul 3 dini hari, Fikri sudah melengang ke tempat kelahirannya menggunakan bus angkatan pagi. Di dalamnya, ia menatap ke arah jendela yang tampak gelap dan dipenuhi embun. Ia tampak merenung, seakan ia masih belum percaya kalau ia sudah lulus. Rasanya baru kemarin ia masuk pondok, dan sekarang ia harus meninggalkan pondoknya tercinta. Meninggalkan seluruh kenangan yang tercipta di dalamnya, meninggalkan sahabat-sahabatnya, meninggalkan kota yang telah membesarkan jiwanya, dan yang paling menyayat hati adalah meninggalkan para guru yang telah sukarela mendidiknya.

Belum separuh perjalanan, azan sudah berkumandang. Sopir bus menepikan armadanya ke rest area yang tersedia–owner perusahaan busnya mewajibkan seluruh kru untuk menepikan armadanya apabila waktu salat telah tiba. Ada sekitar 3 bus dari PO yang sama dan ada sekitar 5 bus dari PO bus lain yang telah bertengger rapi di area parkir.

"Alhamdulillah Ya Allah, udah azan," ucap Fikri lirih.

Seluruh kru dan penumpang turun dari armada untuk melaksanakan salat subuh. Fikri mencoba menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Segar, tak beda jauh dengan Tasik." Ia melangkahkan kaki diiringi senyum yang tergantung manis di bibirnya.

Cukup banyak orang yang menepi di rest area ini. Mungkin karena area parkirnya yang cukup luas dan tempatnya yang cukup nyaman–fasilitas cukup lengkap; masjid, restoran, lesehan, toilet, kolam ikan terapi, smoking area, dan fasilitas lainnya, menjadi alasan bagi para pelancong untuk singgah sejenak di rest area ini.

Seusai melaksanakan salat subuh berjamaah, seluruh kru dan penumpang kembali ke bus. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan tujuan akhir Jakarta.

Sekitar 10 jam Fikri menghabiskan perjalanan dari Tasik ke Jakarta. Pukul 1 siang ia sudah menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Jakarta. Kedatangannya disambut baik oleh keluarga dan tetangganya. Ia dijamu layaknya seorang tamu yang agung. Kemudian orang tuanya mempersilakan Fikri untuk beristirahat terlebih dahulu karena mereka tahu ia telah melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan.

Benar saja, Fikri tertidur cukup pulas. Ia tidur pukul 2 siang kemudian bangun pukul 5 petang. Saat bangun, ia terkejut karena jarum jam pada jam dinding telah menunjukkan pukul 5. Artinya ia belum salat dan melewatkan salat asar berjamaah. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Saat di ruang tengah, ibunya yang tengah merajut bertanya, "Nak, kamu mau kemana buru-buru kayak gitu?"

"Aku mau ambil air wudhu, bu. Aku belum salat asar. Lagian ibu kenapa gak bangunin aku?"

"Ibu niatnya mau bangunin kamu, tapi setelah ibu lihat kamu tidur pulas kayak tadi, ibu jadi gak tega bangunin kamu."

Fikri menghela nafas pelan. "Lain kali gak usah ada kata 'gak tega' ya, bu. Ini bukan perihal hubungan manusia dengan manusia, tapi perihal hubungan manusia dengan Tuhannya."

"Iya-iya, maafin ibu ya, Fik." Fikri mengangguk kemudian tersenyum.

"Oh, iya, Sarah mana, bu?"

"Kayaknya Sarah ada di kamarnya deh. Coba kamu cek."

"Ya udah, aku cek ya, bu." Ibunya mengangguk kemudian kembali fokus pada rajutannya.

Fikri melangkahkan kaki menuju kamar adiknya. Saat membuka pintu, ia mendapati pemandangan adiknya yang masih tertidur pulas di atas kasur. Ia menggelengkan kepala sembari berdecak.

"Sar, bangun. Udah sore." Sarah, adiknya Fikri hanya menggeliat.

"Sar, bangun ih!" Fikri mulai sedikit geram.

"Apaan sih, bang. Sarah baru tidur sebentar nih. Sarah masih ngantuk." Sarah kembali memeluk gulingnya.

"Sarah, kalo tetep gak mau bangun, abang siram nih!" Fikri tampak semakin geram melihat tingkah adiknya.

Sarah hanya bergumam tak jelas.

Fikri bergegas menuju kamar mandi. Ia wudhu terlebih dahulu kemudian mengambil segayung air dan membawanya ke kamar adiknya, Sarah. Ia menciprat-cipratkan air menggunakan jari tangannya. Adiknya yang tengah memeluk guling itu mulai mengerjap-ngerjapkan mata. Tak lama kemudian ia bangun.

"Abaaang!" teriak Sarah.

"Astaghfirullah, Sarah, jangan teriak-teriak ih. Nanti telinga abangmu rusak."

"Bodo amat!" Sarah memasang tampang sebal.

Fikri memegang pipi adiknya, kemudian berkata, "Sarah, dengerin abang, ya. Sarah, adik abang, 'kan?"

Sarah mengangguk dengan matanya yang tampak berkaca-kaca.

"Kamu udah salat asar?"

Sarah menggeleng lemas. Kini matanya tak mampu menatap kakaknya sendiri.

"Abang bangunin kamu tuh karena sayang sama kamu. Terus, kalo kamu melalaikan salat nanti yang dimintai pertanggungjawaban adalah bapak, ibu, dan abang. Apalagi kalo sampe ninggalin salat. Kamu mau di akhirat nanti bapak, ibu, sama abang dimintai pertanggungjawaban karena gak ngingetin kamu?"

Sarah kembali menggelengkan kepalanya.

"Ya udah, kamu ambil wudhu gih. Kita berjamaah." Sarah mengangguk kemudian pergi menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Kedua kakak-beradik itu pun melaksanakan salat asar berjamaah. Seusai salat, Fikri memimpin doa.

"Bismillaahir-rohmaanir-rohiim, alhamdulillaahi hamdan yuwaafii ni'amahu wa yukaafi'u maziidah, ya robbanaa lakal-hamdu wa lakasy-syukru kamaa yambagii lii jalaali wajhikalkariimi wa'adziimi sulthoonik. Allohumma sholli wa sallim 'alaa sayyidinaa Muhammadin wa 'alaa aaliihi wa shohbihi ajma'iin, aamiin. Allohumma inna nas-aluka minal-khoiri kullihi 'aajilihi wa aajilihi maa 'alimnaa minhu wa maa lam na'lam, wa na'uudzubika minasy-syarri kullihi 'aajilihi wa aajilihi maa 'alimnaa minhu wa maa lam na'lam. Wa nas-alukal-jannata wa maa yuqorribu ilaihaa min qoulin wa 'amalin wa niyyatin wa-'tiqood. Wa na'uudzubika minan-nari wa maa yuqorribu ilaihaa min qoulin wa 'amalin wa niyyatin wa-'tiqood. Wa nas-aluka min khoiri-maa sa-alaka minhu 'abduk wa nabiyyuka Muhammadun shollalohu 'alaihi wa sallam. Wa na'uudzubika min syarri-maa-sta'adzaka minhu 'abduk wa nabiyyuka Muhammadun Shollallohu 'alaihi wa sallam. Robbanaghfir lanaa wa liwaalidainaa warhamhumaa kamaa robbayanaa shigooroo. Robbana aatinaa fiddunya hasanah, wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa 'adzaabannar. Robbanaa taqobbal minna innaka antas-samii'ul'aliim wa tub 'alainaa innaka antat-tawwabur-rohiim. Wa shollahu 'alaa sayyidina muhammadin wa 'alaa aalihi wa shohbihi wasallam. Subhaana robbika robbil 'izzati 'amma yashifuun wa salaamun 'alalmursalin walhamdulillahi robbil'aalamiin."

Selesai berdoa, Sarah mencium tangan Fikri.

"Jadi adek yang baik buat abang, ya." Sarah mengangguk kemudian Fikri mencium keningnya.

____________________

Salam Nahkoda Kehidupan 🧑‍✈️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berlayar di Tengah BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang