Prolog

274 34 39
                                    

°°°

"Ibu bilang jangan makan terlalu banyak, kamu pikir gampang cari duit buat makan, sini kamu!" Enda menjerit meminta ampun pada ibunya, ia menangis karna takut sekaligus kesakitan.

"Maafin Enda, bu." gadis kecil itu menangis tersedu.

"Lihat Ayahmu yang cacat itu! Setiap hari aku harus mencari uang hanya untuk lelaki tak berguna itu, juga kenapa kamu harus LAHIR, HAH! " Enda ketakutan melihat ibunya berteriak begitu keras. Ia berlari kearah sang ayah yang hanya bisa terbaring lemah diatas kasur.

"Sini kamu, biar ibu kasih pelajaran." Enda kembali menjerit saat sang ibu menarik pergelangan tangannya dengan kasar. Ia melihat sang ayah yang hanya bisa meneteskan airmata dan diam menyaksikan putri kecilnya disiksa.

Enda diseret ke kamar mandi dan diguyur air oleh sang ibu. "Aku sangat lelah harus terus melayani kalian, KENAPA KALIAN TIDAK MATI SAJA SEKALIAN."

Semalaman Enda dikunci di dalam kamar mandi, dengan tubuh basah kuyup. Gadis kecil itu terus menggigil. Ia tak berhenti menangis dan memanggil-manggil nama sang ibu.

Kenapa ibunya selalu memarahinya, ia hanya makan satu suap nasi. Tapi kenapa ia harus sampai dikunci di kamar mandi dan dibiarkan kedinginan. Kenapa ibunya begitu membenci dirinya?.

°°°

"Ngelamun mulu sih? Udah selesai packingnya?"

Mendapat gangguan dari sang kekasih, Enda membalikan badan menghadap Juna. Ia menatap kekasihnya yang hanya menggunakan kaos oblong, celana jeans butut dan rambut yang dibiarkan acak-acakan.

"Udah dari tadi selesai," ucapnya.

Enda menyandarkan kepalanya di bahu Juna dan memeluknya erat.

"Kenapa lagi, hmm?" Juna mengusap lembut kepala Enda. Enda semakin mengeratkan pelukannya dan menyumbunyikan wajahnya dibahu lebar Juna.

"Inget kejadian itu lagi?" tanya Juna.

Enda mengangguk mengiyakan. Juna mengusap pelan punggung Enda untuk menenangkannya.

Setelah hening beberapa lama, Juna mulai bercerita pada Enda.

"Kamu tahu gak? Dulu, waktu ayah masih ada... Bunda selalu manjain aku sama Dika. Walaupun dia sibuk kerja di kantor, tapi dia tetep nyempetin waktu buat keluarganya." Enda diam dipelukan juna dan mendengarkan ceritanya.

"Lalu... Ayah meninggal karna terlalu memaksakan diri dengan pekerjaan musiknya. Bunda stress berat waktu itu, dia selalu mengunci diri di dalam kamar dan akan marah besar jika aku dan Dika bermain alat musik,"  lanjut Juna.

Enda menatap wajah Juna, ia tersenyum menguatkan sembari menatap kekasihnya.

"Pernah, satu waktu... Bunda mengunciku di kamar mandi seharian, dia juga sering main tangan dan berkata kasar, Saat itu aku benar-benar ketakutan."

"Aku tahu rasanya." Enda menimpali cerita Juna. Ia tersenyum lembut dan menggenggam erat tangan juna.

"Dihadapanku dan Dika, Bunda mengamuk dan menghancurkan semua alat musik yang ada di rumah, sejak saat itu... Aku rasa musik dan Bunda menjadi hal yang menakutkan dan paling aku benci."

Musicenda #ODOCTheWwgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang