• Sheiland #41 •

265K 27.3K 2.2K
                                    

Tidak ada yang ingin kukatakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang ingin kukatakan. Kurasa kamu sudah bahagia dengan pilihanmu.

***

Aland masih menunduk dalam-dalam dengan kondisi kamar yang berantakan saat Arkan masuk. Ia mendongak, menatap Arkan yang menatap penuh selidik ke arahnya.

"Lo kenapa?" tanyanya.

Aland mendengus, memalingkan muka, malas menjawab.

Arkan membungkuk, melihat kondisi MacBook yang berhasil Aland rusak hanya dengan sekali banting. "Lo pikir nyari duit gampang apa? Gampang banget banting-banting begini."

Arkan menghampiri Aland yang bersandar di ujung tempat tidur. Arkan menusuk pipi Aland dengan telunjuk, mengganggunya. Tidak takut jika Aland akan semakin marah dan mengamuk lagi. "Lo kenapa? Ceritain ke gue."

Aland masih bungkam, membuat Arkan geregetan sendiri. "Soal Sheila?"

Melihat Aland yang membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak, Arkan mengangguk, dugaannya benar.

"Kalo ada masalah itu omongin baik-baik. Lo itu cowok, jangan ngambekan kayak cewek PMS gini. Si Agatha aja yang tadi bocor nggak sebaperan lo."

Aland berdecak, sedang tidak dalam mood untuk membalas celotehan Arkan.

"Gini, ya. Pikirin soal susahnya lo dapetin Sheila, susahnya ngedeketin Sheila. Kalo yang bikin lo marah itu soal takut kehilangan dia.

"Lawan ego lo, Aland."

"Diem, nyet," balas Aland akhirnya.

"Ye, setan. Gue udah baik ngasih saran malah lo giniin."

Arkan beralih untuk berjongkok di depan Aland. "Apa gue harus genggam kaca yang pecah itu biar lo nurut omongan gue?"

Aland kontan melotot. "Jangan goblok, Arkan."

"Makanya nurut. Lawan ego lo, ajak ngomong Sheila, denger penjelasan dia dan selesain masalah kalian baik-baik. Ngerti?"

"Nggak ada yang perlu dijelasin."

Arkan mendengus. "Bodo amat, Land, bodo amat. Oke, kalau itu mau lo. Silakan nikmati hasil dari ego lo itu."

Usai Arkan keluar dari kamar, Aland larut dalam kebingungannya.

Apakah yang dikatakan Arkan itu benar?

***

Sheila menyisir rambutnya dengan sangat cepat dan bersenandung, melakukan hobinya seperti biasa.

"Sambala sambala bala sambalado, pedes banget, ya, Sheila gak suka.

"Sambala sambala bala sambalado Aland kemana, gak ada kabar."

Sheila terdiam sebentar, baru menyadari hal yang seharusnya menjadi beban pikirannya sejak kemarin. Menjadi bahan pikirannya, menjadi alasan suasana hatinya memburuk dalam sekejap.

Namun, hal itu tidak terjadi. Ada hal lain yang membuat Sheila dapat mengalihkan perhatiannya, ada hal lain yang membuat Sheila seolah melupakan Aland begitu saja.

Oke, itu cuma pengandaian. Sheila tidak melupakan Aland, tentu. Ia merasa khawatir, bingung, dan segenap perasaan lainnya yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata sederhana.

Ia juga bingung mengapa Aland tidak kunjung menghubunginya. Apakah itu mengirim SMS, menelepon, atau sekadar mengetik P saja seperti sedang mengetes apakah kontak yang dituju masih aktif atau tidak.

Ponsel yang bergetar di atas meja membuat Sheila mengalihkan perhatiannya, ia menunduk, mengambil benda​ pipih itu dan senyumnya segera mengembang.

Sandi : Abang udah di depan rumah kamu, Shei.

Sheila memeluk ponselnya, merasa senang luar biasa mengetahui fakta bahwa dirinya sudah bertemu dengan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Atau... apa memang satu-satunya?

Setelah mencomot roti selai dari atas meja makan, Sheila pamit ke sekolah dan buru-buru menghampiri kakaknya, Sandi, yang sedang bersandar di pintu mobil dan tersenyum. "Pagi, Shei."

Mata Sheila berbinar-binar, jelas menunjukkan bahwa dia merasa senang. "Pagi."

Sandi membukakan pintu untuk Sheila, Sheila masuk dan refleks menghela napas. Ia bersandar, berusaha duduk dalam posisi yang paling nyaman. "Abang bakal jemput aku tiap hari?" tanyanya.

Sandi mengangguk mantap, ia segera mengeluarkan kendaraan beroda empat itu dari halaman rumah Sheila, baru kemudian melaju menuju SMA Pelita.

Sheila mengernyit. Entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kalau Sandi setiap hari menjemput dan mengantarnya, lalu bagaimana dengan Aland?

"Tapi, Abang, terus pacar aku gimana?"

Sandi menoleh sebentar, keningnya mengkerut tidak suka. "Kamu punya pacar?"

Sheila mengangguk beberapa kali penuh semangat. Ia menunduk, membuka kunci ponsel tetapi masih belum ada pesan apa pun dari Aland.

Tak apa, mungkin nanti.

"Siapa namanya?" tanya Sandi, terdengar lebih serius.

"Aland. Aland Alano Navvare."

Kedua alis Sandi terangkat naik. "Alano Navvare? Itu keluarga yang punya properti di banyak negara, kan?"

Sheila mengangkat bahu, sebab ia sendiri kurang tahu. "Nggak tau, pokoknya mereka kaya, kalo diliat dari rumahnya."

"Gimana orangnya?"

"Aland ganteng, baik, terus romantis juga. Kadang-kadang aku saling balas gombalan sama dia, kapan-kapan Abang nonton, ya."

Sandi tertawa kecil. "Abang harus ketemu pacar kamu, Shei. Biar Abang tau seberapa jantan dia, atau apa dia pantas dapetin kamu atau nggak."

"Dia jantan kok, perutnya aja kotak-kotak."

"Shei, jantannya cowok itu bukan dinilai dari bagusnya badan mereka. Tapi dari bagaimana sikap mereka memperlakukan seseorang yang dia cintai."

"Nggak ngerti," ungkap Sheila.

Sandi hanya bisa tersenyum samar. "Bukan apa-apa. Ah, kita udah nyampe."

Setelah turun dan melambaikan tangan, Sheila berjalan dengan suasana hati yang riang. Hingga matanya menatap sosok Aland. Dia selalu tampak tampan, begitu juga hari ini.

Namun, Sheila tidak mengerti saat Aland tidak menyapanya sama sekali dan berlalu begitu saja. Padahal ia yakin Aland tadi melihatnya.

Sebenarnya apa yang terjadi?

***

Yang UAS mana suaranya wkwkwk

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya, hehe.

Jangan lupa baca cerita saya yang lain juga, terima kasiih.

Ok, see you:))

Sheiland (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang