02.

5.9K 1.4K 136
                                    

Pagi ini rumah sudah dalam keadaan sepi, Ivon sibuk membuka klinik yang berada di samping rumahku dibantu oleh Ibu, sedangkan Mas Arsyad pasti sudah berangkat ke kantornya.

Aku beranjak pergi ke dapur dengan membawa piring dan juga sendok yang memang kusimpan di dalam kamar. Begitu aku sampai di meja makan, aku melihat menu ayam kecap kesukaanku. Air mataku kembali menetes mengingat betapa kerasnya Ibu membujukku untuk bergabung dan makan bersama dengan Mas Arsyad dan juga Ivon seperti dulu. Salah satunya dengan cara memasak makanan kesukaanku seperti ini.

Aku akhirnya mengambil satu centong nasi putih yang masih mengepulkan uap hangat dari dalam magic com, dan mengambil satu ayam kecap sebelum beranjak ke meja makan. Makan dalam keheningan kini menjadi teman sehari-hariku. Tidak ada obrolan maupun percakapan ringan seperti dulu.

Semenjak aku dinyatakan positif terjangkit virus itu, aku membatasi interaksiku dengan keluargaku, kami bahkan tidak pernah duduk bersama dan bersanda gurau seperti dulu karena aku lebih memilih mengurung diri di kamar. Aku akan keluar di saat orang lain sudah pergi, dan menghabiskan waktu dalam kesendirian.

Aku bahkan mengisolasi alat makan dan minum milikku sendiri yang membuat Ibu menangis. Ya, walaupun aku tau bahwa penularan virus di dalam tubuhku tidak akan terjadi karena memakai peralatan makan yang sama, tetapi rasa khawatir itu tetaplah ada. Virus ini cukup bersemayam di dalam tubuhku, aku tidak ingin keluargaku memilikinya juga dengan kemungkinan sekecil apapun.

Setelah selesai makan, aku pun mencuci piring dan juga gelas yang sudah kugunakan sebelum menyimpannya di dalam tempat khusus di dalam kamarku. Tidak lupa aku mengisi teko kecil yang berada di dalam kamar dengan air minum yang akan ku konsumsi untuk hari ini agar aku tidak perlu beranjak keluar kamar dan melihat wajah sedih Ibu maupun Ivon.

Mereka tidak pernah memandangku dengan pandangan penuh prasangka seperti orang-orang di luar sana, tapi sorot kesedihan saat memandangku sama sekali tidak dapat mereka sembunyikan sedikitpun.

Suara ketukan pintu membuat perhatianku teralihkan, mengingat tidak ada orang lain di rumah membuatku membuka pintu dengan perlahan, merasa takut dengan tamu yang datang akan memandangku dengan pandangan penuh penilaian yang tidak kusukai.

"Tiara?"

Suara yang familiar ini membuatku menghembuskan napas lega, kini Laura sedang berdiri di depanku dengan senyuman penuh simpati. Tanpa bertanya lebih jauh, aku yakin Laura sudah mengetahui perihal penyakitku. Kini ia memelukku dengan erat dan berkata, "Tir, yang kuat ya."

Laura adalah sahabatku saat mengenyam bangku pendidikan selama tiga tahun di salah satu akademi kebidanan yang cukup tersohor di kota kami.

Aku mengajak Laura masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Laura memilih untuk duduk di sampingku dan menggenggam tanganku yang membuat air mataku terjatuh.

"Ivon udah cerita sama aku Tir, Ivon bingung harus gimana ngadepin kamu makanya aku ke sini."

Perkataan Laura membuatku teringat akan penyakitku dan menjauhkan tubuhku dari jangkauan tangannya.

"Tir, aku mohon sama kamu, bersikaplah seperti biasa sama aku." Laura mendekati dan kembali menggenggam tanganku yang membuat isak tangisku semakin menguat.

"Ra, nggak ada orang lain yang tau kan selain kamu?"

Laura menggeleng, kemudian ia tersenyum lembut dan mengusap bahuku secara perlahan. "Kamu nggak usah khawatir, aku nggak ngasih tau temen-temen yang lain."

Jawaban Laura terasa begitu melegakan. Aku khawatir jika teman-temanku yang lain tahu dan akan memandangku sama dengan yang lainnya.

"Kita tenaga kesehatan, Tir. Garda terdepan untuk semua penyakit yang ada. Termasuk penyakit kamu ini. Kita punya ilmu dan tau penyebabnya, kita nggak akan judge kamu dengan stigma buruk."

"Laura... kenapa harus aku?"

"Waktu berputar Tir, kamu nggak bisa terus berkutat dengan pertanyaan 'kenapa harus kamu'. Benahi hidupmu, Tir, kamu kena HIV bukan berarti kamu 'mati'. Ibu dan saudara kamu yang paling terluka saat melihat kamu nggak punya semangat hidup kayak gini, Tir."

Perkataan Laura seakan menamparku. Kilasan tentang bagaimana respon Ibu dan saudara-saudaraku saat aku dinyatakan positif terkena penyakit itu membuat hatiku teriris perih. Mereka tersenyum, mencoba menyemangatiku saat aku sendiri sudah merasa duniaku hancur.

"Aku punya kenalan yang bisa bantu kamu, Tir."

***

Perkataan Laura seakan memberi secercah harapan baru. Laura menyuruhku bergabung dengan sebuah Puskesmas di Ibu Kota yang memiliki program HIV untuk dijalankan. Laura bilang, aku harus sedikit menjauh dari lingkunganku agar diriku tidak begitu tertekan karena gunjingan buruk dari para tetangga.

Mas Arsyad menyetujui itu dan membantuku untuk mencari sebuah rumah kost yang tidak jauh dari Puskesmas yang Laura maksud. Laura juga mengusulkan aku untuk bekerja di salah satu perusahaan asuransi yang menerima ijazah D3 milikku guna menghalau pikiran negatif yang selama ini menghantuiku.

Hari ini adalah hari pertamaku untuk mengunjungi Puskesmas yang Laura maksud, Laura bilang hari ini kami mengadakan diskusi bersama penderita lainnya. Dengan langkah gugup, aku memasuki Puskesmas dan bertanya kepada petugas keamanan mengenai keberadaan Bu Lidya, orang yang sudah Laura percayakan untuk membantuku di sini.

Setelah disambut dengan baik oleh Bu Lidya, aku pun akhirnya diajak untuk masuk ke sebuah aula yang di dalamnya sudah terdapat banyak orang. Mungkin sekitar belasan, sampai puluhan.

"Selamat sore, maaf ya saya terlambat sedikit hari ini," ucap Bu Lidya seraya mempersilahkanku untuk duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia.

Semua orang memandangku, namun mereka tidak memandangku dengan pandangan menilai seperti yang kebanyakan orang lakukan padaku saat aku di rumah. Mereka bahkan mengulas sebuah senyum yang membuatku sedikit menyunggingkan bibirku.

Aku akhirnya duduk di samping seorang laki-laki yang kurasa berada di awal dua puluhan yang menatapku dengan penuh keramahan.

"Baru pertama ya Mbak?" tanya laki-laki di sampingku yang kujawab dengan anggukkan kaku.

Laki-laki itu kemudian menjulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman. "Kenalin Mbak, saya Bayu. Bayu Saputra. Mbak boleh panggil saya Brian," ujarnya dengan riang.

Aku pun mengulurkan tanganku untuk menyambut salamannya. "Tiara. Tiara Ashana Maulida."

"Maaf sebelumnya Mas, apa saya boleh nanya?" tanyaku yang dijawab anggukan antusias penuh dengan senyuman oleh Bayu. "Di sini, positif semua?" suaraku memelan, sedikit meragu dengan kalimat yang kulontarkan.

Bayu kembali mengangguk dengan senyuman miliknya, seolah jawabannya sama sekali bukanlah beban. Seolah virus yang ada di tubuhnya sama sekali tidak mempengaruhi kehidupannya.

Aku ingin seperti Bayu, yang masih dapat tersenyum tanpa beban meski sudah terjangkit penyakit yang belum bisa disembuhkan tersebut.

Hi(V) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang