4 : Kenyataan :

Mulai dari awal
                                    

Nadia tertawa. "Pede banget, sih."

"Lah, emang benar. Kalau kamu nggak suka, harusnya kamu udah ninggalin aku dari awal."

Nadia tersenyum, menatap Ramon penuh cinta. "Ramon, Sayang, ada banyak cewek di sekolah yang mau jadi pacar kamu. Tapi, kenapa kamu milih aku?"

Ramon tersenyum manis. "Karena aku sukanya sama kamu, bukan sama mereka. Lagian emangnya kalau masalah suka, bisa dipaksa-paksa?"

"Hehe, enggak, sih." Nadia tersenyum-senyum. Memainkan rambut Ramon yang agak acak karena sehabis naik motor. Kendati demikian, fisik lelaki itu masih terlihat mampu membuat perempuan menoleh dua kali. "Kamu jangan ngerokok sama main ke club lagi ya, Sayang. Bahaya buat kamu. Mending, kamu ketemu sama aku aja."

Seringai Ramon melebar lagi. "Main di mana?"

"Ya... kita bisa kayak gini. Ke kafe, atau kamu main ke rumahku."

"Atau kamu yang main ke rumahku." Ramon tersenyum manis. "Sabtu depan orangtuaku nggak ada. Kita bisa jadi penguasa rumah seharian. Aku aja yang jemput kamu. Kita makan bareng, terus kamu bisa nginep di kamar tamu."

"Hm, sounds like a good idea."

"Jelaslah. Spending time together with you will always be a good idea."

"Gombal, ih."

Ramon tertawa. "Jadi, gimana? Sabtu depan jadi, kan?"

"Jadi, dong."

"Kamu mau dijemput? Mau kujemput pakai Ducati atau pakai mobil Jaguar? Atau pakai helikopter sekalian?"

Nadia tertawa. "Lebay, ah, pakai helikopter segala. Orang rumah kita masih satu kota."

Kedua sejoli itu tertawa lagi. Aksel mengamati sambil memutar-mutar bola mata. Kenapa Nadia tak bisa membuka mata bahwa apa yang diucapkan Ramon itu hanya kemanisan omong-kosong? Gombalan tak bermakna?

"Kamu lihat sendiri," ujar Ramon. "Aku udah nggak ngerokok. Aku seminggu ini udah nggak ke night club lagi. Udah nggak minum-minum. Semua karena dan demi kamu."

"Iya, aku percaya." Nadia mengelus pipi Ramon. "Dipertahankan ya, Sayang. Buat kebaikanmu juga, kan? Nanti kalau udah gede, udah nikah, masa mau ke night club terus?"

Ramon tersenyum dan mengecup kening Nadia. "Iya, janji. Aku kan, bisa berubah begini karena dorongan dari kamu. Makasih ya, Sayang."

Aksel memutar bola mata sambil mendesah. Berubah ndasmu? Orang jelas-jelas minggu lalu itu lo ngajak gue ke night club.

"By the way, Sayang, gimana kamu sama si Aksel sekarang?" tanya Ramon, seketika membuat Aksel menajamkan pendengaran. "Masih pacaran kalian?"

Nadia menghela napas berat. "Iya, maaf, ya. Padahal aku nggak berniat memperpanjang hubungan sama dia. Aku juga nggak nyangka kamu rela jadi.... Jadi orang ketiga gini...."

"Jangan ngomong gitu," ujar Ramon, memeluk Nadia. "Aku rela jadi orang ketiga karena aku sadar aku butuh kamu, Nad. Kamu yang bisa bikin aku berubah jadi lelaki yang lebih baik. Cuma kamu. Nggak pernah sekali pun aku cinta ke cewek sampai rela jadi orang ketiga begini. Tapi, aku nggak bisa berubah kalau nggak ada kamu. You are my whole life right now."

Nadia tersenyum lembut. "Iya, Ram." Dia mendesah. "Aku mau putusin Aksel, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Dia... nggak punya kesalahan juga, Ram."

"Kalau alasannya kamu udah nggak ngerasain hal yang sama kayak dulu?" tanya Ramon.

"Aku tuh juga udah nggak bisa nerusin hubungan sama Aksel. Kami tuh cuma... ya cuma gitu-gitu aja. Nyamperin pas istirahat, makan bareng, tapi dia nggak pernah datang buat malam mingguan. Cuma chatting doang. Sementara kalau sama kamu, aku ngerasa aku bisa ngelakuin segala hal di dunia ini. Kamu selalu datang pas aku butuh. Beneran datang, nggak cuma ngomong di chat bilang peduli. Kamu bantuin aku di sekolah, bahkan kamu mau nungguin aku sampai aku selesai rapat OSIS malam-malam. Aksel? Paling dia cuma bilang hati-hati dan kabarin kalau udah sampai rumah." Nadia mengembuskan napas. "Iya sih, Aksel cakep, pintar, baik. Aku juga diperlakukan dengan baik sama dia. Tapi, ya hubunganku gitu-gitu aja. Jadi berasa... kurang aja gitu. Dia nggak ada pengorbanannya."

Deklasifikasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang