Keruh (I)

3 1 0
                                    

Ia tetap diam menundukkan kepala, kadang ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan berat. Wajahnya memerah, ia menahan tangis. Aku tak tahu harus melakukan apa, ia terus berjalan tanpa arah, aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.

"Hei." Ia menghentikan langkahnya, memulai pembicaraan. "Apa di mata para Pitch, keberadaan kami sama mengerikannya seperti kami melihat Cuspid? Jika benar begitu, mengapa kau mau menbantu kami?"

"Kau baru mengetahui sedikit kenyataan tentang Pitch, kau tak bisa menyimpulkannya seperti itu."

Ia kembali diam. Ia berjalan menuju kursi panjang di sisi kanan trotoar, duduk lalu menghela nafas panjang lagi. Aku mengikutinya, duduk di samping kirinya, memandang berbagai jenis kendaraan yang melintasi Jalan Raya tepat di hadapan kami. Rindangnya dedaunan Pohon di belakang kursi menghalangi sinar Matahari jatuh ke wajah kami, kesejukan yang sudah lama sekali kurindukan.

"Aku, aku menguping pembicaraanmu dengan Pak Miller beberapa hari yang lalu."

"Itu alasanmu nekat datang ke rumah seorang Pitch?"

"Ya. Kenapa mereka semuanya Jantan? Kenapa hanya mengincar Wanita?"

"Kau tahu kan, apa yang diincar oleh Cuspid. Tidak semua yang diincar oleh mereka nantinya akan dimakan, bagian-bagian tubuh yang mereka ambil memiliki kegunaan yang berbeda namun berkaitan."

Kali ini ia tak memberikan respon, aku sudah menduga hal itu. Masih hidup saat berada di sarang Cuspid lalu trauma akan apa yang ia lihat di sana bukan suatu hal yang bisa dilupakan begitu saja.

"Mereka memakan Otak agar bisa berpikir layaknya Manusia, itu juga berpengaruh dengan bagaimana cara mereka bisa bicara seperti Manusia. Mereka menggunakan Hati manusia untuk membuat Seal, menjerat Manusia dengan perasaan. Lalu menggunakan Jantung Manusia agar Mangsa yang terjerat Seal tetap hidup hingga dibawa ke sarang mereka. Payudara dipakai untuk membuat Portal lalu Vagina, kau tahu sendiri kegunaanya, yang terakhir Rahim..."

"Untuk anak-anak mereka."

Aku mengangguk membenarkan. Aku tak perlu bertanya tentang apa yang dilihatnya di sana, karena aku tahu bagaimana kengerian tempat itu. Entah telah berapa kali aku memasuki tempat-tempat itu dan entah sudah berapa kali aku melihat pemandangan yang mengilukan tersebut. Bahkan sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana mengekspresikan wajahku saat melihat hal tersebut.

"Hei." Ia menoleh kearahku. "Boleh kutahu siapa namamu?" Tanyanya.

"Kau cukup panggil aku Black, sama seperti lainnya." Jawabku.

"Tapi, bukankah kau tak menginginkan Julukan itu."

Aku terdiam. Ia benar, aku tak menginginkan Julukan ini. Tapi entah kenapa, hanya nama inilah yang mereka gunakan untuk memanggilku. Kadang aku sempat lupa nama asliku, karenanya aku berusaha mati-matian untuk mengingatnya dan terkadang, aku malah tak yakin aku punya nama. Bahkan tanpa sepengetahuan orang lain, aku pernah melukai tubuhku hanya untuk menorehkan namaku di sana. Entah sudah berapa kali aku menggoresnya di tempat yang sama, menebalkannya, memperjelaskannya, agar aku tetap ingat siapa namaku.

"Maukah kau..."

"Prince, Damien Prince."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PitchWhere stories live. Discover now