Tidak Realistis

8.5K 1.2K 35
                                    

"May, ada apa? Emang sengaja datang ke sini?" tanyaku pada Maya, adikku.

Selepas meeting di ruang rapat kantor, aku diberitahu Dessy, sekretarisku bahwa ada May di ruanganku.

"Iya, sengaja," jawabnya sambil menoleh padaku dari posisi duduk di hadapan meja kerjaku.

Aku mengangguk sambil terus berjalan menuju kursiku. Setelah duduk, aku menatap adikku semata wayang dengan penuh selidik.

"Ada apa?" tanyaku sambil terus menatapnya dari balik meja kerja.

"Mas Aksa, betulan sudah nikah lagi?"

Huh.

Sudah kuduga.

"Iya," jawabku sambil mengangguk.

"Kenapa?"

"Kenapa?"

Maya mengangguk. "Iya, kenapa?"

Aku menggeleng. "May... bukan urusan kamu. Ini murni hidup aku..."

"Yah, gak bisa gitu dong Mas. Mas Aksa bukan seorang bujangan. Ada Arsy dan Malika. Keponakan aku. Aku gak rela mereka menderita..." ucap May berapi-api, memotong kalimatku.

"Siapa bilang keponakan kamu menderita, May?"

"Gak penting siapa yang bilang, tapi..."

"Dafina?" tebakku, balas memotong kalimatnya.

May membuang nafas kesal.

"Kamu tuh tega banget sih, Mas. Masa Fina dibabuin di depan anak-anak sama siapa namanya itu perempuan?"

"Aisyah."

"Nah itu..."

"Jangan gila kamu. Gak ada yang babuin Dafina," ujarku.

"Oya? Jadi Aisyah nyuruh-nyuruh Fina masakin sarapan itu bohong?"

Huh.

Dafina....

Selalu berlebihan.

Aku membuang nafas frustasi sebelum menjawab.

"Yang bener itu adalah... Ais yang memasak sarapan. Fina, ingin telur ceplok. Ais sudah membelikan telurnya di minimarket lobi apartemen. Sisanya, urusan Fina. Jadi... dia tuh masak telur ceplok, udah segitu aja," terangku.

"Telur ceplok untuk istrinya Mas?" tanya May penuh selidik.

Aku mengangguk. "Iya. Untuk Fina, Ais, dan anak-anak."

"Terus Mas diam aja?"

Keningku berkerut tak mengerti.

"Maksud kamu?"

"Mas... Mas sensitif dikit napa. Gimana perasaan Fina pada saat itu? Dia... dia... merasa dipermalukan di depan anak-anak... Mas, inget loh... Fina itu, Maminya anak-anak."

"May, dia tinggal di seberang apartemenku. Pegang kuncinya. Tiap hari hilir mudik di dalam. Mana mungkin aku lupa?" ujarku berusaha tenang.

Lalu aku menggeleng sebelum mengusap kasar wajah.

"Sejak awal... kalian tuh mendesak aku untuk memacari Dafina... hubungan kami putus nyambung. Selalu aku yang disalahkan. Selalu dituntut untuk mengalah lalu balikan lagi..."

Aku menggeleng lagi sebelum lanjut berkalimat.

"Waktu aku mau S2 ke Inggris, Fina mendesak untuk segera dinikahi supaya bisa ikut kesana. Keluarga mendukung semua..."

"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" tanya May.

"Salah. Sejak awal hubunganku dengan Fina salah..."

"Maksud Mas?"

"Kalian yang menginginkan Dafina... kamu, Ayah, Ibu... aku terus yang didesak untuk menuruti maunya kalian..."

May mengembuskan nafas panjang. Dengan wajah kesal dia menatapku lalu menggeleng.

"Aku gak ngerti, dimana kurangnya Dafina? Dia itu tidak hanya cantik, pintar, baik... tapi juga setia kawan... sopan pada Ayah dan Ibu... bahkan setelah bertahun-tahun cerai, dia Masih setia sama Mas... dia tuh berharap suatu hari Mas Aksa dewasa... mengerti kesalahan yang Mas sudah buat selama menikah dulu... lalu kalian rujuk..."

"Rujuk?"

"Iya?"

Aku menggeleng.

"Tidak akan pernah."

"Kenapa?"

"May... saat dia mau cerai, kulakukan apapun untuk membatalkan keputusan cerai itu. Apapun. Tapi... sedetik setelah palu hakim diketuk, bagiku itu sudah selesai. Aku. Harus. Melangkah. Pergi. Move on... aku berjalan ke depan, bukan kebelakang... May... memangnya salah aku selama kami menikah apa sampai membuat dia bersiteguh untuk bercerai? Sampai saat ini aku gak ngerti..."

"Nah itu..." kata May sambil menunjuk padaku.

"Apa?"

"Mas gak ngerti perempuan. Kebutuhan Fina itu gak muluk-muluk... minta perhatian... Mas kerja terus, membuat dia merasa jadi single parent."

Aku menggeleng. "May... kamu pikir jabatan CEO ini diperoleh sebagai hadiah? Ya enggaklah. Ini buah kerja keras. Dedikasi tinggi... bertahun-tahun... perempuan, termasuk kamu harus mengerti itu. Ingin punya pasangan yang kalau bisa punya waktu 24 jam untuk memuja dan memuji, tapi juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan..."

Aku menggeleng. "Perempuan seperti itu... tidak realistis. Memangnya uang turun dari langit?"

May menatapku sinis, tapi tidak menjawab. Lalu dia berdiri dan pamit meninggalkanku.

Aku hanya diam menatap kepergiannya.

Huh.

Hidupku benar-benar rumit. Sejak bertahun-tahun lalu seolah Dafina adalah anggota keluarga. Justru aku... orang luar. Selalu disalahkan.

Aku menggeleng menelisik fakta unik ini. Menyebalkan.

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang