Siang itu bibir Natasya Kaori maju 5 cm. Bagaimana tidak? Kaori adalah anak muda yang –seharusnya—sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Yah, paling tidak itu menurut Kaori. Ia bermimpi bisa melanjutkan kuliah ke jurusan yang diinginkannya, farmasi atau psikologi. Tapi, ada yang membanting setir Kaori sehingga ia harus berubah haluan.
Sekuat apa pun Kaori berusaha menjelaskan. Seberbusa apa pun mulutnya bicara. Lawan bicaranya kali ini pasti selalu memutarbalikkan semuanya. Membawa Kaori untuk kembali memilih Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Kaori yang baru saja berumur 18 tahun itu tetap ngotot ingin mengikuti ujian masuk di beberapa perguruan tinggi seperti teman-temannya yang lain. Namun, wanita paruh baya yang duduk di hadapannya membuat Kaori tak berkutik. Seolah memantrai Kaori untuk diam. Kini, wanita itu menatap dalam mata Kaori.
"Kaori, Ami bukannya tidak mau menuruti keinginan Kaori. Tapi... kondisi ekonomi kita... sedang tidak memungkinkan untuk saat ini." Hati Kaori mengendur perlahan mendengar penjelasan itu.
"Kaori kan tau, usaha Abi saat ini sedang dalam posisi yang sulit. Kakakmu juga masih kuliah." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Ami juga sedih denger cerita Kaori tentang temen-temen yang ikut tes di sana-sini. Sedih ngeliat Kaori yang pengen ikut tapi nggak bisa..." Mama Kaori yang sering dipanggil Ami –yang artinya ibu dalam bahasa arab—berhenti sejenak, setetes air mata jatuh tak terbendung lagi. Mengalir di pipinya yang –baru Kaori sadari saat itu—tirus.
"Ami titip, supaya Kaori jangan selalu melihat ke atas dalam kehidupan ini, karena kalau kita selalu melihat yang 'lebih' dari kita, kita nggak akan pernah bersyukur dan nggak akan pernah puas. Lihatlah ke orang-orang yang keadaannya jauh memprihatinkan dari kita. Itu lebih baik karena bisa membuat kita bersyukur dengan segala keadaan kita sekarang."
Sekuat tenaga, mama Kaori menahan air matanya.
"Baiklah baiklah... aku tak pernah sanggup melihat mama menangis. Jadi, biar aku yang mengalah. Biar aku yang ikuti keingingan Ami. Masuk perguruan tinggi negeri jurusan keguruan, di UPI Bandung." Kaori bergumam dalam hati.
Kata-kata Ami telah menampar Kaori. Kaori masih belum menyadari, kelak hal itu akan menjadi salah satu faktor yang mengubah kehidupannya.
* * *
Formulir itu masih kosong. Kaori memainkan pinsil 2B dengan jemarinya sambil menatap lembaran Formulir Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Hari ini harus dikumpulkan. Kaori dan teman-teman akan pergi ke ITB untuk mengembalikan formulir itu agar dapat menjadi peserta ujian tulis SNMPTN.
Nama dan biodata lain sudah dihitamkan Kaori. Tinggal jurusan saja yang masih kosong. Ia teringat percakapan dengan guru bimbel beberapa waktu lalu. Pilihlah jurusan yang peluang masuknya cukup tinggi. Urutkan pilihan sesuai passing grade.
"Hmm..." Kaori menggumam. "Salah satunya harus ada yang di UPI." Otaknya mengingatkan.
"Baiklah..." Kaori membuang nafas dan membulatkan tekadnya.
"Targetku sekarang harus bisa masuk UPI. Hmm... jadi pilihan pertama harus yang passing grade-nya tinggi. Yah, katanya kenyataan itu gak akan jauh beda sama keyakinan kita. Jika punya semangat dan keyakinan tinggi untuk lulus di pilihan pertama, maka yang kedua pasti lolos." Kaori masih berbicara pada dirinya sendiri sambil menghitamkan kode untuk Jurusan Pendidikan Kimia UPI di urutan kedua. Tinggal selangkah lagi, Ujian SNMPTN.
"Well... aku sudah berlatih selama ini. Mengerjakan soal setiap hari. Saat paling malas pun, jika tak mengerjakan satu soal, aku selalu sempatkan membaca. Kesuksesan selalu datang pada mereka yang siap. Jadi, aku pasti mampu melewatinya. Dear UPI... Im coming."

KAMU SEDANG MEMBACA
Precious
Teen FictionPernah ngerasa kalo lo salah masuk jurusan? Hidup lo penuh konflik? Pengen tau seluk beluk anak kuliahan atau sekedar ingin nostalgia dengan sejuta ceritanya? Kalo ya, berarti lo harus baca buku ini! "Teruslah memberi arti bagi setiap orang yang kau...