Lebih Cepat Lebih Baik

10.5K 1.4K 46
                                    

Tok.
Tok.
Tok.

"Masuk," kataku yang tengah berdiri menghadap kaca jendela ruang kantor, menatap progress proyek pembangunan.

"Selamat pagi, Pak. Kata Teh Nia, Pak  Aksa manggil Ais."

Aku menoleh lalu mengangguk.

"Ada apa, Pak? Mau pesan sarapan?"

Aku menggeleng setelah membalik badan menghadapnya.

"Ais, duduk," perintahku sambil menunjuk pada salah satu kursi di hadapan meja kerjaku.

Dengan langkah meragu, wajah kuyu, dan mata sayu, Ais menuruti perintahku. Setelah itu aku beranjak, duduk di kursi kerja di balik meja.

"Ais..."

"Iya, Pak Aksa," katanya pelan dengan kepala sedikit menunduk, pandangan ke bawah.

"Saya... sudah mengambil keputusan."

Ais mengangguk.

"Iya, Pak. Ais ngerti. Maap yah kemaren Ais udah lancang... semoga Bapak tidak marah apalagi memecat Ais..."

"Ais..."

"Pak Aksa."

"Memangnya kamu tahu apa keputusan saya?"

Ais mengangguk.

"Tau Pak."

Hah?

Keningku berkerut.

"Tahu dari mana?"

"Dikira-kira aja..."

Aku menggeleng.

"Ais..."

"Hadir Pak..."

"Saya memutuskan..."

"Iya, Pak... gak apa-apa. Ais ngerti."

"Ais," kataku, kali ini dengan nada lebih tegas.

"Siap, Pak," katanya sambil mengangkat wajah hingga menatapku.

"Kalau saya lagi ngomong tuh dengerin, jangan main potong aja," ujarku dengan nada tegas dan wajah serius.

"Mengerti, Pak. Mohon maaf. Silahkan dilanjutkan... tapi sebelumnya, izinkan Ais mengucapkan kalau Ais mengerti dan memahami, bahwa sesungguhnya Pak..."

"Ais, saya bersedia menikahi kamu," kataku memotong kalimat Ais.

Ais melongo. Matanya membesar.

Lalu...

"Ah, becanda nih Bapakkk..." ucapnya sambil menujuk padaku.

"Enggak," kataku sambil menggeleng.

"Iya, nih Pak Aksa ngebohong..."

"Saya gak bohong."

"Nipu?"

"Saya gak nipu."

"Memberi harapan palsu?"

"Enggak."

"Ngegombal?"

"Apalagi itu. Enggak."

"Umm..." keningnya berkerut, bibir dan hidungnya dierutkan.

"Aisyah," ujarku gusar.

"Iya, Pak. Ais di sini."

"Kamu denger gak sih tadi saya ngomong apa?"

Ais mengangguk pelan.

"Apa?" tantangku.

"Umm... Pak Aksa bersedia nikahin Ais."

Aku mengangguk.

"Good."

"Bagus. Good itu artinya bagus."

"Ais..."

"Iya, Pak..."

"Berarti kamu sudah paham posisi saya?"

"Posisi?"

Aku mengangguk. "Posisi saya terhadap permintaan kamu kemarin. Saya sudah memberikan jawabannya."

Ais mengangkat satu tangannya ke hadapanku. Menggesturkanku untuk diam.

"Pak..."

"Iya?"

"Bilang sekali lagi, dong."

"Apanya?"

"Itunya."

"Apa?"

"Ucapan Pak Aksa tadi.

Aku mendehem sebelum bicara.

"Aisyah..."

"Iya Pak Adhyaksa."

"Saya..."

"Iya?"

"Bersedia..."

"Ais juga bersedia."

Aku tersenyum. "... menikahi kamu."

Sedetik kemudian wajahnya sumringah. Kedua telapak tangannya ditengadahkan setinggi dada.

"Alhamdulillahhh..."

Lalu Ais mengepalkan kedua telapaknya, mengangkatnya ke udara.

"Yeeeh... Ais gak jadi istri keempat Ki Somadddd! Horeee Ais jadi istrinya Pak Aksa."

Lalu dengan berapi-api dan wajah ceria Ais berbicara.

"Pokoknya mah Pak... Pak Aksa gak bakal nyesel. Ais akan berusaha sekuat-kuatnya, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala... pokoknya mah sampai titik darah penghabisanlah Ais bakal berusaha jadi istri yang baik buat Pak Aksa seorang."

"Oya?"

"Iya, Pak... tenang aja. Ais gak bakal ngerepotin. Sebaliknya segala urusan Bapak sebisa-bisa Ais beresin. Rumah set... set... set... tiap hari Ais buat kinclong. Anak-anak, rapi terawat. Baju-baju, bersih-wangi. Oya... tiap jam makan tiba... sarapan, makan siang, makan malam... kapan Pak Aksa dan anak-anak mau, ready! Tinggal am... pokokna mah dijamin enak. Gini-gini Ais pinter masak," janjinya dengan bangga.

Sontak aku tertawa hingga kepala mendongak ke belakang.

Ais ikut tertawa bersamaku.

"Ais... Ais..." kataku di sela tawa sambil menggeleng.

"Jadi, Pak Aksa kapan mau nikahin Ais?"

"Ais maunya kapan?"

"Ahh, Ais mah kalau bisa sekarang, yah mending sekarang. Lebih cepat... lebih baik."

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang