"Maaf tuan.. sebaiknya tuan berangkat ke masjid saja, shalat shubuh berjamaah. Biar nanti bibi yang coba bicara sama nyonya."

Entah apa yang tersirat dari ucapan bi Imah. Seakan yang ia ucapkan seperti kata-kata bijak yang harus segera dipatuhi.

Evan pun hanya mengangguk pelan sambil meninggalkan bi Imah yang masih tersenyum yakin. Dalam hatinya berharap, bi Imah mampu untuk mencairkan suasana hati sang istri.

Setelah melihat Evan berjalan lurus keluar rumah, bi Imah perlahan mengetuk pintu kamar itu. Dalam hatinya juga berharap masih ada sisa maaf yang menghuni hati Sera.

"Nyonya.. nyonya sudah bangun?" tanya bi Imah dari luar kamar.

"Kenapa bi?" ucap Sera sendu.

"Tuan Evan sebenarnya sayang banget sama nyonya, maaf kalau bibi jadi ikut campur masalah nyonya dan tuan."

"Bibi... mas Evan bohongin aku, hatiku sakit banget bi. Aku tau mas Evan pasti ngerti bagaimana pedulinya aku sama Stylosa. Meski aku bukan lagi bagian darinya, tapi dulu aku ikut andil dalam kejayaannya, bi."

Tangis Sera pun pecah saat dirinya dalam pelukan bi Imah. Meski wanita paruh baya itu hanyalah seorang asisten rumah tangga, tapi bagi Sera sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.

Sera menumpahkan segala kesedihannya. Baginya bi Imah sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.

Bi Imah masih memberikan kesempatan untuk Sera menumpahkan kegelisahannya. Sampai tak terasa Evan pun sudah kembali ke rumah.

"Tuan.. sudah selesai shalatnya?" Evan mengangguk, "saya permisi dulu."

Lagi-lagi Sera menghindari menatap mata Evan. Mata elang yang selalu membuatnya tunduk dan patuh pada sang empunya.

Ketika Sera ingin pergi dari kamar itu, Evan mengenggam erat tangan sang istri. Ia sadar, ia adalah seorang imam, tak seharusnya sang istri mengabaikannya sampai seperti ini.

"Tunggu! Dengerin penjelasan aku dulu! Aku masih suamimu, Ra! tolong, hargai aku!" seru Evan mengeratkan rahangnya.

Sera terdiam seribu bahasa. Tubuhnya mengikuti gerakan Evan yang mendekapnya. Tanpa balasan sama sekali.

"Aku cuma gak mau kamu memikirkan hal ini. Kondisi kamu saat itu tidak memungkinkan, Ra. Pahami kekhawatiran aku!" seru Evan mengeratkan dekapannya.

"Intinya kamu bohongi aku, mas. Kalo sebuah pernikahan ada hal yang ga saling terbuka satu sama lain, lalu buat apa adanya ikatan pernikahan?" tanya Sera sambil meninggalkan Evan. Lagi.

Isak tangis Sera seakan memaksa Evan untuk terus memendam emosinya. Hatinya sakit berkali-kali menatap wajah teduh itu meneteskan air mata.

Tangan Evan mengepal keras saat merasa diabaikan lagi oleh sang istri.

Sera berlarian menuju deretan kamar pembantu. Tujuannya memang tak jelas. Namun baginya sudah berjauhan dari sang suami sudah cukup. Setidaknya ia bisa menenangkan diri.

Karena ia tau kalo ia lari ke luar rumah, pasti sudah ada puluhan ajudannya yang siap menghadang.

Sera berjalan menuju kamar bi Imah. Perlahan ia amati kegiatan bi Imah di dalam kamar. Lalu ia beranikan diri untuk menghampirinya yang sedang asyik memandangi foto.

"Bibi...." panggil Sera lemah.

"Nyonya... kok nyonya ada disini? kamar ini penuh debu, kotor pula. Nyonya jangan ada disini."

"Tempat bersih belum tentu nyaman dan menenangkan bi," bi Imah terdiam mendengarnya, "ini foto siapa bi?"

"Ini foto anak bibi, namanya Nino. Dia anak bibi satu-satunya, orang yang paling bibi sayang, nyonya," ucap bi Imah sambil mengusap lembut foto bayi itu.

"Sekarang dia ada dimana, bi? Pasti sudah besar dan berkeluarga ya?" tanya Sera bersemangat.

"Mungkin jika dia masih hidup, pasti sudah berkeluarga seperti tuan Evan. Tapi sayangnya Allah lebih menyayangi Nino," ucap bi Imah redup dan berkaca-kaca.

"Nino sudah berpulang?" bi Imah mengangguk pelan, "maaf bi, aku gak bermaksud menyinggung perasaan bibi. Memangnya dia sakit apa?"

"Tetralogi Fallot, sepertinya ada keturunan dari suami bibi dulu. Tidak apa, nyonya. Semenjak kehilangannya, tuan Evan sejak kecil sudah mengizinkan bibi untuk menganggapnya sebagai anak bibi. Bibi bersyukur bisa mengenal tuan Evan."

"Mas Evan tau masalah ini?" bi Imah mengangguk, "memang bibi sudah berapa lama bekerja di keluarga mas Evan?"

"Sangat tau. Bibi bekerja pada nyonya Tina dan tuan Agung semenjak tuan Evan masih bayi, tepatnya saat Nino masih bayi juga dan bibi sudah harus menjanda karena diceraikan. Tuan Evan dan Nino seperti teman, sampai akhirnya harus terpisah karena Allah lebih menyayanyi Nino," ucap bi Imah terisak-isak.

Tangan Sera terulur untuk menggenggam tangan bi Imah yang memutih. Matanya berkaca-kaca menahan sakitnya rasa rindu itu.

"Saat itu, tuan Evan sudah mengerti apa yang bibi rasakan. Bahkan tuan mengizinkan bibi untuk boleh menganggapnya sebagai anak juga," Sera menatap lembut wajah yang sudah basah itu, "tuan Evan sudah menjadi baik sejak kecil, nyonya."

Entah mengapa hati Sera terasa ditombak berkali-kali. Sakit sekali. Pengakuan bi Imah secara tidak langsung membuatnya mencari status 'menyesal' saat ini.

Ia begitu merindukan suaminya. Dekapannya, sentuhan lembutnya dan suaranya. Ahh tidak... semua tentang Evan pasti selalu membuatnya rindu.

"Bibi bicara sesuai apa yang bibi alami. Bibi tegar sampai sekarang, karena bisa melihat tuan Evan tumbuh sampai sekarang, bibi bisa melihat sosok anak bibi berhasil di usia mudanya," Sera tersenyum simpul, "maaf jika bibi ikut campur dengan masalah nyonya dan tuan. Tapi jujur, bibi tau tuan dari kecil, dia tidak mungkin menyakiti hati wanita yang dicintainya."

Sera hanya bisa terdiam. Apakah perilakunya sudah sangat buruk untuk status seorang istri?

"Saat itu, nyonya sedang down karena kehilangan janin nyonya. Tuan Evan tidak mungkin memberitahu soal ini. Percayalah nyonya, tuan tidak sejahat itu, dia hanya ingin nyonya istirahat total tanpa memikirkan apapun. Mungkin hanya caranya saja yang belum nyonya mengerti," ucap bi Imah memberi pengertian.

Sera tersadar caranya marah pada sang suami sudah begitu berlebihan. Yang jelas, Evan tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Hatinya begitu sakit saat diabaikan.

Ya, hati mana yang tidak pedih jika diabaikan oleh belahan jiwanya?

"Aku kekanak-kanakkan banget ya, bi?" tanya Sera menyesal.

"Mungkin wajar bagi pasangan baru. Ada dua hati yang disatukan dalam satu pemikiran, digabung dalam satu kehidupan. Pasti tak heran jika ada perbedaan pendapat seperti ini."

"Terimakasih ya bi, udah bikin aku tersadar akan kesalahan aku, akuharus temui mas," ujarnya sambil berlarian kecil meninggalkan bi Imah.

"Tapi nyonya harus inget, harus sabar hadapin tuan Evan. Nyonya dan tuan harus saling perhatian dan pengertian satu sama lain."

"Okeh bi..."

Sera begitu semangat menghadiri sang pemilik separuh nafasnya.

"Tapi nyonya... tunggu!" seru bi Imah mengejar Sera.

"Kenapa lagi bi?" tanya Sera heran sambil tersenyum.

"Bibi lupa, kalo tuan Evan sudah berangkat ke bandara karena ada pekerjaan yang menunggunya di London."

"APA??"

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Yahhh.... ditinggalin deh... hayoolloohhh......

Mas sendirian yak? ikut dong mas :D :D :D

Instagramku.......... emerald_06 ......... yak

Arigatou Gozaimasu.........

Cinta High Class (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now