10. Terangkanlah... (2)

13.8K 1.6K 304
                                    


Pak Rayyan menunjuk sesuatu di tengah gambar. "Itu apa?"

Bersandar pada tiang misterius di tengah panggung, adalah sebentuk gadis berambut panjang cantik.

"Oh itu—seseorang, Pak."

"Siapa?"

"Penghibur, Pak. Dia sering di panggung itu, nyanyi lagu jagung rebus."

Ada jeda setelah Shou melemparkan pancingannya.

Pak Rayyan relatif tenang. Cool, dia memandangi gambar itu dengan sorot mata juga belaian jari yang seolah bisa menggapai panggung gelap di sana. Shou memperhatikan lekat, menahan napas, menunggu sampai Pak Rayyan kembali mempertemukan kedua mata mereka.

"Bagaimana Pak? Apa—harus saya perbaiki?" tanya Shou.

"Apa kamu sengaja menambahkan perempuan di tengah sini? Sebelumnya tidak ada, kan?" tebak Pak Rayyan.

"Ah, benar Pak." Shou mengangguk. "Bagaimana Bapak tahu? Apa Bapak pernah ke sana?"

Ketika itu wajah cool Pak Rayyan luntur. Ia mendengus kecil.

Dengusannya membuat jantung Shou berdentum. Cara Pak Rayyan mengulum bibir menahan tawa dan tersenyum barusan—agak kurang wajar.

Kurang wajar sebab wajahnya jadi kelihatan lebih menawan dari biasanya. Perut Shou jadi terasa geli-geli aneh.

Normal tidak sih bila kau merasa berdebar melihat seorang lelaki tampan tertawa?

Normal-lah! Sebagai sesama lelaki, Shou merasa terpuaskan melihat lelaki yang lebih tampan tertawa. Sebab ketampanan itu bisa saja menular kepadanya. Wajar bila seperti itu. Ya, kan?

"Bukan," kata Pak Rayyan. "Gambarmu di area ini kelihatan kasar. Kelihatan bahwa ada objek yang ditambahkan."

"Ooh." Shou mengangguk. "Di situ harus saya revisi, Pak?"

Akhirnya Pak Rayyan mempertemukan kedua mata mereka. "Tidak perlu. Kenapa kamu tambahkan perempuan di sini?"

Sebetulnya menatap seorang dosen tepat di mata bukan hal baik. Akan tetapi, maaf bila kali ini Shou menjadi begitu berani. Ia balas pandang mata Pak Rayyan lekat-lekat. "Hmm. Karena saya berharap ada dia di sana. Apa saya salah?"

Adu pandang mereka jadi lebih lama. Shou merasakan darahnya berdesir kecil.

"Salah secara proporsi," jawab Pak Rayyan, mengerling mata kembali ke gambar, memutus kontak mata mereka lebih dulu.

"Seharusnya bagaimana, Pak, maaf?"

"Seharusnya tidak usah ada perempuan."

Shou mendekatkan wajahnya sedikit, dan bertanya, "Jadi seharusnya saya gambar pria saja, Pak?"

Reaksi Pak Rayyan istimewa.

Mendengar pancingan barusan, Pak Rayyan membawa punggung tangan ke depan bibirnya sendiri, menyembunyikan senyum. Geli aneh di perut Shou kembali. Gelinya membikin Shou ikut tersenyum.

Pak Rayyan memberikan paraf tanda asistensi di kanan bawah gambar, kemudian mengembalikan gambar itu kepada Shou. "Ini gambar suasana, tak perlu objek percuma," katanya.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Barulah ketika Shou kembali ke kursi, ia sadar bahwa jantungnya bergemuruh. Pundaknya juga bergetar. Dag dig dug bukan main karena dibuat tegang oleh bapak dosen.

Persis seperti memancing ikan sungguhan. Tahu, kan? Rasa tegang ketika ujung kailmu dicaplok ikan sebesar paha manusia? Ditarik-tarik, diulur-ulur, tegang sampai bengek. Seperti itulah tegang yang Shou rasakan ketika berdiri di samping Pak Rayyan.

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang