RT 15 (Giselle)

5.8K 344 29
                                    

Aku berusaha mengendalikan diri dan memasang senyum semanis mungkin pada sobatku yang baru nongol itu.

Aku melirik Delilah yang mendadak bungkam dan memutuskan akulah yang harus menjawab pertanyaan Ella. Masalahnya, aku tidak tahu apakah itu hanya pertanyaan polos ataukah menyiratkan kecurigaan. Oke, gara-gara harus menyembunyikan sesuatu yang penting dari sobatku sendiri, aku jadi parno.

"Kenapa, La? Kangen?" tanyaku.

"Kangen dong," sahut Ella sambil tertawa. "Serius, ke mana aja? Gue cariin nggak nemu-nemu! Bea juga nggak ada. Gue pikir kalian semua kompakan bolos gara-gara Paulin nggak masuk!"

Gawat, Bea benar-benar tidak muncul hari ini. Apa ini tidak semakin mencurigakan? Tapi omong-omong, kok sepertinya Ella tidak sadar hari ini Bea berulang tahun? Lebih aneh lagi, kenapa dia tidak menyinggung soal Merly? Apa dia tidak mendengar soal itu, atau memang tidak peduli? "Nggaklah. Paulin kan punya masalah keluarga, jadi wajar dia nggak masuk. Mendingan kita nggak ikut-ikutan. Nggak baik masih hobi bolos di tahun terakhir begini. Semester depan kita kan udah mau skripsi!"

"Terus kalian kok nggak ada di kelas tadi pagi?"

"Ada kok," kini giliran Delilah yang menyahut. "Tadi kami duduk di bangku belakang, di pojokan. Kami lihat lo duduk di depan, di barisan tengah."

"Wah, bukannya nemenin gue!" cibir Ella. "Biasanya kan kalian seneng duduk di depan."

"Sori, kemarin gue kecapekan, La, jadi tadi gue kepingin tidur di kelas."

Ucapan Delilah tidak sepenuhnya bohong. Hampir setiap Senin dia selalu muncul di kampus dengan tampang mirip panda, dengan lingkaran mata hitam dan air muka suntuk, lantaran di akhir minggu harus membantu ibunya berjualan di pasar kaget. Tapi biasanya dia masih bela-belain menemani kami duduk di barisan depan sambil menutupi mukanya dengan buku. Hari ini, gara-gara dikagetkan pesan dari Bea, dia langsung mengajakku duduk di bangku belakang. Berhubung aku juga tidak siap menghadapi Ella, ajakan itu pun kuturuti.

"Oh, iya ya, muka lo kusut banget," kata Ella prihatin. "Kondisi di rumah nggak parah, kan?"

"Namanya juga bokap gue kabur lagi sambil ninggalin utang." Delilah tertawa kecil. Terkadang sobatku itu tertawa saat menceritakan kemalangannya, membuatku agak curiga, jangan-jangan semua penderitaan ini membuat selera humornya jadi error. "Tapi udah terbiasa kali ya, jadi nggak kaget lagi. Ditambah lagi bantuan kalian bikin semuanya jadi lebih ringan."

"Tenang ajaaa..." Ella ikut tertawa. "Buat apa punya temen kalo bukan buat nolong di saat sulit? Iya nggak, Sel?"

"Iya, betul," ucapku sambil menunduk dan mulai membuka aplikasi game. Sulit rasanya menghadapi Ella saat ini. Lebih baik kuserahkan tugas itu pada Delilah yang jauh lebih pandai berbasa-basi. Lagi pula, Ella selalu tertarik mendengar cerita soal keluarga Delilah, meski dengan tampang prihatin. Biarlah mereka mengobrol, aku tidak akan ikut campur...

Tunggu dulu. Mungkin aku bisa mengubah situasi ini menjadi sesuatu yang menguntungkan. Lebih baik aku bertanya pada Ella tentang hubungannya dengan Bea dengan tidak mencolok.

"Eh, La," aku menyela pembicaraan Delilah dan Ella yang berlangsung, "hari ini lo lihat Bea nggak?"

"Iya nih," sahut Ella sambil celingak-celinguk, seolah berharap bisa menemukan Bea di tengah kerumunan para mahasiswa yang berkumpul di plaza. "Memangnya ke mana tuh anak? Di-BBM juga nggak nyahut hari ini!"

Gawat, kenapa Bea kelihatan begitu jelas menghindari Ella? "Tapi kemarin lo sempet kontak dia?"

"Yah, terakhir gue kontak dia hari Sabtu." Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu Ella mengontak Bea untuk minta sumbangan bagi Delilah. Kurasa Delilah juga menyadari hal itu, tapi dia tidak menampakkan perasaannya sama sekali. "Cuma gitu aja sih. Emang kenapa?"

RAHASIA TERGELAP - Lexie XuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang