Calum: Setelah Pacaran (2)

4.4K 630 1.5K
                                    

"Gimana bisa kamu membanggakan kedua orang tua kalo untuk memikirkan masa depanmu saja kamu enggak bisa!" teriak Papa sambil menghempaskan rapot gue ke atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana bisa kamu membanggakan kedua orang tua kalo untuk memikirkan masa depanmu saja kamu enggak bisa!" teriak Papa sambil menghempaskan rapot gue ke atas meja. Udah hampir satu jam Papa mengoceh dan ini bahkan belum mendekati kata selesai, "Tugas kamu hanya belajar, Calum! Apa itu susah?"

"Papa enggak minta banyak-banyak sama kamu. Enggak dapat ranking pun Papa enggak masalah.Tapi ini udah kelewatan, kamu sadar?" gue menunduk ketika mendengar Mama yang duduk persis di seberang gue mulai terisak, "Papa Mama kerja buat masa depan kamu, tapi kamu bahkan enggak peduli sama diri kamu sendiri!"

"Kerjamu cuma main, keluyuran sampe malem, ngabisin duit orang tua. Mau sampe kapan kamu begitu? Kalo Papa Mama udah enggak ada, mau jadi apa kamu?"

Suasana ruang makan mendadak hening, yang terdengar cuma suara helaan napas berat Papa dan isakan tangis Mama yang semakin menjadi.

"Terus sekarang kamu minta pindah?" gue cuma diam sambil memainkan ujung baju seragam, "Pindah ke mana? Sekolah mana yang mau nerima kamu? Murid malas yang kerjanya cuma main-main! Enggak akan ada sekolah yang mau kedatangan murid semacam kamu!"

"Pa," suara bergetar Mama yang mencoba menyabari Papa membuat dada gue nyeri.

Gue akhirnya mencoba menatap Papa dengan mata berkaca, "Aku bisa nyari sekolahan sendiri, Pa."

Papa menggeleng tegas, "Papa enggak pernah mengajarkan kamu buat lari dari masalah. Kamu harus bertanggung jawab sama perbuatanmu. Kamu tetap bersekolah di Tunas Karya sampai kamu tamat. Enggak ada kata pindah."

Gue seketika tercekak, "Tapi...."

"Tapi apa lagi, Calum?"

Gue menelan ludah dan berkata lirih, "Tapi aku malu kalo harus balik ke sekolah, Pa."

Papa semakin memandangi gue berang, "Sebelum ini apa kamu pernah memikirkan konsekuensi apa yang kamu dapat kalo kamu enggak serius belajar? Kalo sudah terlanjur begini, baru kamu malu?"

"Kenapa pula harus malu sama temenmu? Memangnya mereka yang menghidupi kamu? Mereka yang membesarkan kamu? Harusnya kamu malu karena membikin nangis Mamamu sendiri! Harusnya kamu malu karena mengecewakan orang tuamu!"

"Pa!" teriak Mama.

"Harusnya kamu malu duduk di hadapan Papa dengan rapot merah kayak gini!" Papa enggak menghiraukan teriakan Mama, "Pikirkan itu!"

Gue menunduk ketika merasakan setetes air mata mengalir bebas dari kedua mata gue, "Kamu tatap Mamamu dan kamu minta maaf," gue perlahan mengusap kedua mata sebelum mendongak menatap Mama yang menangis dalam diam, Mama enggak menunjukkan ekspresi apapun, dan ekspresi itu menyayat hati gue lebih tajam dari benda apapun di muka bumi, "Minta maaf sekarang, Calum!"

Gue menelan ludah beberapa kali, mencoba menghilangkan gumpalan sebesar batu di tenggorokkan, "Aku minta maaf, Ma. Maaf karena udah bikin Mama sakit hati, maaf karena bikin Mama kecewa," tangan gue mencengkram erat ujung seragam gue, berharap hal itu bisa membuat gue terdengar kuat, "Calum minta maaf."

Ayaflu | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang