Bab 32 - Kabar buruk

7.7K 639 35
                                    

Pak Yono: Den Dante, saya mau memberi kabar bahwa pak Ajil kemarin sore meninggal, karena di bunuh oleh den Ernest. Sekarang jenazahnya sudah di kubur, tempat pemakaman nya di daerah Jakarta pusat.

Nafas Dante memburu, otaknya berfikir dengan cepat, jantungnya berdetak tidak stabil, ia masih tidak percaya dengan semua yang sudah terjadi, lebih tepatnya yang di lakukan oleh Ernest, kakaknya sendiri. Setelah menerima pesan dari pak Yono, membuat Dante memilih untuk bergegas menuju alamat pemakaman yang telah di tujukan oleh pak Yono.

Dante pun segera mengambil jaket miliknya dan berlalu pergi dari rumah.

"Dante, mau kemana?" cegat Sonya.

"M..mau kerja kelompok," ucap Dante berbohong.

"Dimana?" tanya Sonya.

"Di rumah Gavin, ma," balas Dante.

Sonya mengangguk paham sekaligus mengizinkan Dante yang hendak pergi. "Ya udah, kamu hati-hati ya." pesan Sonya.

"Iya ma," Dante patuh.

Dante menyalakan mesin motornya, lalu tancap gas untuk melaju ke tempat pemakaman dimana pak Ajil di makamkan. Di dalam fikirannya, Dante merasa tidak enak hati, sungguh jika Dante memanglah cowok paling egois. Ia tidak pernah memikirkan keadaan orang lain, ia hanya ingin memikirkan satu orang, tidak yang lainnya. Dante akui, jika dirinya sangatlah merasa menyesal atas tindakan yang sudah ia perbuat untuk menyembunyikan Ernest di tempat terpencil seperti ini, namun Dante memang tidak punya pilihan lain lagi, ia hanya bisa melakukan apa yang terbaik untuk Ernest..

"Ini salah gue..." batin Dante seraya menatap ke arah kaca spion motor.

"GUE BEGO!" Dante mengamuki dirinya sendiri.

Sampai di tempat pemakaman, ia di sambut hangat oleh para body guard nya. Dante pun di arahkan oleh pak Yono untuk berjalan ke arah makam-nya pak Ajil.

"Makam nya dimana, pak?" tanya Dante gelisah.

"Ini semua salah saya pa," lirih Dante yang terus menyalahkan dirinya sendiri.

"Nggak Den, ini semua sudah takdir." ujar pak Yono terkekeh.

Dante mengubah posisi berdirinya menjadi jongkok, kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah batu nisan almarhum pak Ajil, dan cowok itu berkata.

"Pak Ajil, bapak itu sudah saya anggap seperti bapak kedua saya, bapak yang selalu ada untuk saya,Ernest, dan Kyla selama papa dan mama nggak ada." ucap Dante tersendu seraya mengusap batu nisan milik pak Ajil.

"Bapak selalu mengerti bagaimana karakter saya, bapak selalu bisa nasehatin saya. Bahkan, pak Ajil itu lebih daripada perhatian di bandingkan papa dan mama." lanjut Dante yang mulai meneteskan air matanya.

-F L A S H B A C K O N-

Dante masih berusia 6 tahun sewaktu itu, sedangkan Ernest saat itu berusia 10 tahun. Keduanya masih sama-sama terlihat akur dan selalu bermain bersama. Hingga pada waktu itu, papa dan mama yang baru saja pulang dari luar kota, memberikan mainan baru kepada Ernest, sedangkan Dante sama sekali tidak mereka berikan.

Masa kecil Dante memang terlihat pahit, kedua orang tuanya lebih peduli kepada Ernest di bandingkan dirinya sendiri. Tapi, Dante bukanlah orang yang pendendam ataupun sebaliknya, ia akan tetap akur bersama Ernest meskipun dirinya selalu merasa tersakiti.

Hingga datanglah pak Ajil, yang selalu ada untuk Dante, lebih daripada orang tuanya sendiri. Mungkin yang membuat papa dan mama lebih sayang kepada Ernest adalah jika Ernest merupakan cowok cerdas nan pintar, berbeda dengan Dante.

GaratimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang