PART #3
Agni semakin yakin bahwa dia ada apa-apa. Sudah tiga hari denyut menyebalkan memenuhi kepalanya. Gara-gara itu juga kerjaannya di cafe jadi tidak maksimal—untung Sani berbaik hati mengerti kondisi Agni yang sedang kurang sehat.
Terlalu kejam dan menentang takdir kalau mengatakan belum 'berencana', jadi bisa dikatakan begini—bahwa Agni dan Gabriel masih dalam tahapan mematangkan perekonomian mereka terlebih dahulu. Untuk menambah anggota dalam rumah tangga mereka tentu butuh pemikiran panjang.
Namun harga pengaman berbanding terbalik dengan keaktifan kegiatan ranjang.
Jadilah pulang kerja Agni mampir di apotek dekat gang rumahnya. Sebelumnya ia sudah menghitung sisa uang yang diberikan Gabriel, cukuplah.
@@@
"Sayang, kayaknya hari ini aku pulang lebih malam dari biasanya deh." Gabriel menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Sebelah tangannya memegang kerupuk. "Kamu jangan nunggu ya, langsung tidur aja."
"Kenapa lebih malam, Mas?" Bukannya sok jadi istri posesif, kenyataan yang ia terima subuh tadi membuatnya tiba-tiba saja ingin terus berada dekat dengan Gabriel. "Bukannya proyeknya udah mau selesai ya?"
Gabriel menggenggam tangan istrinya, membawa tangan halus itu ke bibirnya untuk dikecup. "Karena mau selesai makanya kami kerja ekstra. Aku kebagian jatah ngeplester."
Menghela napas pelan, Agni menatap Gabriel lama. Apa sebaiknya dia bilang sekarang ya? Kalau menunggu Gabriel pulang takutnya dia sudah ketiduran. Lagipula, kabar seperti ini bukan tipe kabar yang harus di simpan lama-lama.
"Mas..." Agni berdehem pelan, mengumpulkan keberanian. "Udah beberapa hari ini aku pusing terus, mual juga. Setelah aku ingat-ingat, bulanan aku udah molor jauh. Jadi, aku iseng ngetest untuk mastiin—
"Kamu hamil?"
Agni menelan ludah susah payah. Ia tak berani melanjutkan kata-katanya lagi.
"Sayang, kamu hamil? Jawab aku, sayang."
Agni mengangguk pelan. Genggaman tangan Gabriel yang mendadak terlepas seketika membuatnya hampa, Agni mematung beberapa detik sebelum kemudian terlonjak kaget karena Gabriel memeluknya dan menciumnya bertubi-tubi.
"Akhirnya, makasih, sayang. Makasih." Gabriel melepaskan pelukannya lalu melompat-lompat kegirangan. "Aku akan jadi ayah. Aku akan jadi ayah." Ia berdehem, menetralkan perasaan bahagianya. "Oke, jadi gini. Pertama, ah iya, aku akan telepon Bang Sion untuk izin masuk siang. Mana hp aku, sayang." Lalu Gabriel masuk ke kamar, balik membawa ponselnya. "Halo, Bang. Gue masuk agak siangan gak apa-apa kan? Mau ke rumah sakit. Oh bukan-bukan." Ia melirik Agni dengan binar kebahagian terang-terangan. "Mau bawa istri ke dokter kandungan. Makasih ya, bang."
Agni tergugu, airmata menggenang di pelupuk mata. Tak pernah ia melihat Gabriel sebahagia ini. Wajah Gabriel berseri-seri, bibirnya terus tersenyum, semangat berkobar-kobar di atas kepalanya. Gabriel bersuka cita.
"Mas..."
"Iya, sayang..." Gabriel berlutut di depan Agni, mencium tangan istrinya penuh kasih sayang.
"Ke dokter kan mahal." Suara Agni serak tertelan keharuan.
"Aku punya uang kok. Kamu tenang aja ya." Jawab Gabriel lembut, ia sampirkan rambut Agni ke belakang telinga.
"Ke bidan aja ya, jangan ke dokter."
Gabriel menggeleng tegas. "Anakku harus dapat yang terbaik."
"Tapi, Mas..."
Gabriel memutus ucapan Agni dengan ciuman panjang. "Sayang, percaya sama aku."
YOU ARE READING
MAUVE ON
RomancePernah dengar cerita tentang seorang Putri yang begitu mencintai pengawalnya? Kisahnya berawal saat si Pengawal menjebak sang Putri. Demi agar membungkam mulut pengawalnya, Putri bersedia memenuhi semua permintaan pengawal-dari yang aneh sampai yan...
