#10 : Tatapan Penuh Luka

284K 18.8K 399
                                    

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." QS. Al-Rum ayat 21.

Setelah dua minggu pernikahan, Wildan membawaku ke rumahnya sendiri, rumah yang sebenarnya telah dia siapkan untuk Zulfa. Rumahnya sudah rapi dan bersih saat aku tiba di sana. Ada dua pembantu yang sudah dipekerjakan oleh Wildan sejak dua minggu yang lalu. Mbok Sunem dan Mbak Jila ditambah lagi dengan satu tukang kebun, Mang Eno, dan satu satpam, Pak Tarmin. 

Kamarku dan Wildan terpisah, sama-sama di lantai dua, namun kamarku di ujung kanan menghadap kolam, sedangkan kamarnya di ujung kiri. Di tengah-tengah penyekat kamar kami ada ruang baca. Ya, aku harus ikhlas menerima ini. Tidak apa-apa, enam bulan lagi siap tidak siap, aku harus siap diceraikan Wildan. Mungkin itu yang terbaik bagi aku dan dia.

Malam kedua di rumah baru, masih terasa asing dan sangat dingin. Rumahnya besar dan berlantai dua. Nuansa biru dongker masih menjadi favorit Wildan, dari kursi ruang tamu, karpet di ruang TV, gorden di kamar, beberapa perabotan, tembok di ruang keluarga juga berwarna senada. Biru dongker membuat suasana anyep dan rumah ini seperti tak hidup. Dua malam ini aku tak bisa tidur karena tidak betah.

Malam kedua ini juga aku habiskan dengan murotal Alquran dan membaca buku-buku kesehatan. Setelah salat tahajud, baru aku bisa tertidur dan bangun saat adzan Subuh berkumandang. Setelah salat subuh, aku membantu Mbok Sunem dan Mbak Jila di dapur. Sebelum berangkat kerja, aku dan Wildan sarapan bersama. Tidak ada suara tambahan selain bunyi denting sendok yang bersentuhan dengan piring, ruang makan hening tanpa ada percakapan basi-basi di antara kami.

"Aku berangkat, Assalamualaikum," pamitnya memecah keheningan.

Aku segera berdiri untuk menyalaminya, namun lagi-lagi dia lebih memilih menyambar jas dokternya lalu melenggang keluar tanpa menghiraukan tanganku yang melayang di udara untuk menyalaminya.

Aku menghela napas panjang, sampai kapan terus begini? Apa aku sanggup di sampingnya selama enam bulan lagi? Dan apa aku akan siap bercerai dengannya saat rasa yang kumiliki untuknya begitu mendalam?

Oh, Allah, jika jangkarku memang bukan jatuh pada hatinya, tolong percepatkan waktu sampai aku dan Wildan berpisah dengan cara yang baik. Maafkan suamiku bersikap seperti itu padaku, maafkan dia yang tidak bisa menempatkan posisinya sebagai seorang kepala rumah tangga. Aku tahu perceraian adalah jalan keluar yang buruk dan dibenci oleh-Mu, tetapi saat ini aku rasa perceraian adalah jalan keluar satu-satunya yang terbaik untuk Wildan, meski bukan untukku.

Aku menyeka air yang keluar dari sudut mata, lantas bergegas berangkat kerja. Pagi ini biarlah jadi pagi yang buruk, tetapi tidak untuk waktu selanjutnya. Karena aku tahu Allah takkan membiarkan hamba-Nya terpuruk dalam kesedihan karena cinta yang fana. Aku berjalan penuh semangat menuju ruangan Perinatologi, sebisanya aku menepis kesedihan dalam hati. Sekarang waktunya aku memberikan energi positif ke setiap orang di Rumah Sakit, terutama kepada pasien yang kujumpai.

Setelah selesai memberi susu pada bayi di level tiga, aku berdiri dan berjalan menuju ruang level satu, ruang dimana tempat perawatan bayi-bayi sehat dan normal. Aku melihat ada Devita sedang memberi susu pada salah satu bayi. Dia tersenyum padaku dan aku membalasnya.

"Udah kelar di level tiga?" tanyanya.

"Udah, lagi dijaga sama adek mahasiswa. Mahasiswa yang jaga di sini ke mana?"

"Mereka aku suruh bantu Mbak Farah di level dua, banyak bayi yang kritis di sana katanya," balas Devita sambil terus telaten menyuapi bayi itu.

"Ooh.." aku mengangguk paham, lalu ekor mataku melihat satu bayi mungil berpipi gembul. "Mashaallah, lucunya.." aku memegangi kedua pipinya dan mempermainkan pipi bayi itu saking gemasnya.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang