7. Markas Agam Alien

Mulai dari awal
                                    

"Agam, A-gam ...." Maafkan Zoya, Papa. Tapi Zoya inginkan Agam. Duh, kenapa aku jadi mirip gadis remaja baru kenal roti sobek pria sih? Sangat bukan Zoya sekali.

"Sekali lagi coba tungguin, Pa. Kalo Kakak nyebut nama ini orang lagi ... lempar aja pake piring, biar dia bangun. Itung-itung iseng-iseng berhadiah," celetuk Alan.

Emang dasar kutu beras! Kalau bicara semudah buang gas saja. Apa dia tak pernah merasakan jatuh cinta? Ah, aku lupa, dia memang belum pernah merasakannya walaupun burung kakak tua peliharaan Alan itu sering sekali berpetualang.

"Apa benar Zoya memiliki Agoraphobia?" tanya pria yang kuyakin dia Agam.

"Tahu dari mana kamu?!" Ya ampun, Papa ... baru kali ini aku merasa Papa lebih sering menarik urat leher.

"Tadi dokter pribadi saya sempat memeriksa Zoya dan sekarang Putri Bapak memanggil saya, Dokter bilang jika pasien memanggil nama seseorang maka orang itu harus berada di sisi pasien hingga tersadar," terang Agam.

Bolehkah aku tertawa saat ini? Benarkah dokter berkata seperti itu? Rupanya bukan aku saja yang pandai ber-acting. Sejak kapan pula dia jadi peduli padaku?

"Baiklah, kali ini saya perbolehkan. Ingat, sampai Putri saya sadar. Setelah itu segera pergi," ujar Papa tegas.

"Tapi-"

"Saya tidak menerima alasan apapun," ucap Papa tak terbantahkan. "Ayo kita keluar dulu, Lan."

Setelah terdengar pintu tertutup sedikit kencang. Perlahan aku membuka mata dan hampir saja aku pingsan kembali ketika melihat sepasang mata yang akhir-akhir ini menghanyutkanku itu sedang menatapku dengan intens.

"Aku tahu kamu sudah sadar sejak tadi. Kenapa memanggilku? Ah, kuyakin kau sudah terhipnotis pesonaku, Zoya."

Wah ... apa-apaan dia? Kenapa dia mahir sekali membuat perasaanku jungkir balik berubah membencinya hanya dalam hitungan detik?

Aku mendengkus. Mataku beralih menelusuri ruangan yang terlihat asing. Sepertinya ini bukan di kamarku. Tapi jika ini rumah sakit .... terlalu besar ukurannya untuk seorang pasien.

"Sangat tak bisa kuduga jika kamu memiliki Agoraphobia, sepertinya kau biasa saja di tempat ramai. Tidak menujukkan gejala sedikitpun," lanjutnya.

Aku menghela napas lelah. Agoraphobia adalah perasaan takut berada di keramaian. Beruntung phobiaku ini  belum masuk kelas berat yang tak akan nyaman ketika melihat banyaknya orang di manapun.

Hanya saja, tubuhku akan langsung bereaksi jika dalam kondisi seperti tadi, berada di tengah kerumunan orang dengan ... wangi khas keringat bercampur dengan aneka deodoran dari macam-macam orang. Sungguh itu sangat membuatku pusing dan mual. Belum lagi sesak kesulitan bernapas karena terhimpit oleh mereka.

Hal ini yang membuatku sengaja menyembunyikan nama besar Papa. Penyakit aneh ini akan membuat mereka gencar mencariku. Pemburu berita saat ini hampir tidak peduli dengan kode etik jurnalistik. Bagi kebanyakan mereka, yang penting heboh dan digemari banyak orang maka berita mereka dianggap bagus.

Satu-satunya wangi ketiak favoritku adalah ketiak Mama. Senjata mujarab ketika aku sulit tertidur. Tapi sepertinya, daftar list khususku ini bertambah. Agam, wangi khas dirinya jelas membuatku nyaman. Aku rela dirangkul, dipeluk, dicium atau berbuat lebih dari itu asalkan bersama pria ini. Duh, sepertinya aku mulai berkhayal kembali.

"Cuma benci bau ketek orang aja. Maaf ngerepotin kamu," jawabku cuek. Tunggu, barusan seorang Zoya menggunakan aku-kamu? Unch!

Agam tersenyum dan jemarinya mengusap pipiku. Rasa hangat tadi kembali menjalar ke pembuluh darahku setelah tersengat listrik terlebih dahulu. Pria ini ... aneh. Dia bisa terlihat dingin, tak tersentuh, menyebalkan. Tapi ada saat di mana ia terlihat manis seperti ini. Semoga aku tak terserang penyakit gula.

Suara pintu terbuka mengagetkan kami. Papa kembali lagi dengan Alan yang masih asyik dengan ponselnya dan kali ini Mama ada di sana menatapku khawatir.

"Zoya!" jerit Mama lega melihatku baik-baik saja dan langsung berhamburan ke pelukanku. Aku terkekeh pelan. Terkadang Mama lebih terlihat seperti anak kecil dibandingkan denganku.

"Sekarang Zoya sudah baikan, jadi silahkan tinggalkan kami." Papa menatap Agam tajam.

Mama mendelik, "Diyas! Kamu apa-apaan sih? Seharusnya kita berterima kasih sama Agam."

Papa tak menghiraukan Mama. "Dengar bukan? Bisa anda angkat kaki dari sini?"

Aku mengernyit heran. Kenapa Papa sangat tidak suka dengan Agam?

Kali ini Alan baru bersuara setelah menghela napas kasar. "Papa yakin  ngusir orang di rumahnya sendiri? Ya kali, Pa ... Malu-maluin aja nih pikunnya."

Papa memandang ke sekitar dan seakan baru tersadar, ia berdeham  dan membalikkan badan. "Ayo kita pulang."

Pantas saja aku merasa asing, ternyata aku bukan di rumah sakit juga. Aku berada di ruangan yang sepertinya kamar pribadi seorang Agam. Setelah kuteliti, ruangan ini cukup maskulin untuk dikatakan kamar rawat inap.

Kami menahan tawa yang hampir saja pecah. Ku yakin Papa sangat malu telah mengusir tuan rumah di markasnya sendiri.

"Zoya gak mau pulang, Pa. Maunya digoyang sama Agam!"

Papa berbalik dengan wajah yang memerah. Campuran dari rasa malu dan jengkel ku rasa. "ZOYA!"

Tawaku pun pecah saat itu juga.

TBC

*****

Akhirnya aku update setelah puas berlibur hehe

Maaf ya, kemarin itu ke published padahal belum selesai.

Regards
Ali

04 Juli 2017
1216 Words

All Eyez (#MOG 2) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang