1. A Little Piece of Name

1.5K 265 60
                                    

Desember di London sangatlah dingin bagi beberapa orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Desember di London sangatlah dingin bagi beberapa orang. Suhu pada siang hari hanya mencapai 9 derajat selsius, bahkan saat malam hari bisa menyentuh 0 derajat selsius. Namun, itu tidak berlaku untukku yang baru saja keluar dari stasiun kereta bawah tanah.

Mantel panjang berwarna cokelat menutupi 3/4 tubuhku, sweater hitam tipis dengan turtle neck, rok beludru berwarna cokelat, syal rajut, legging hitam panjang, dan sepatu bot hitam yang hanya seperlima kakiku membuat suhu London terasa biasa saja. Aku berjalan dengan sedikit tergesa menyusuri jalanan London sambil membawa sebuah koper berukuran sedang dan ransel di punggungku.

"Ayolah, Yorkshire Dales bersuhu minus pada bulan Desember. Lebih dingin daripada ini," ucapku kepada diri sendiri.

Aku terus melangkahkan kaki sambil sesekali mataku memeriksa peta di layar telepon genggam. Aku pun mempercepat langkah melewati pertokoan yang mengeluarkan aroma kopi dan roti yang menari-nari seperti Casper, membuatku seketika merindukan rumah.

Sampai di sebuah perempatan jalan, aku melihat taksi yang akan segera melewatiku. Lekas aku menarik napas dan mengalirkan oksigen menyentuh pita suara. "Taksi!"

"Taksi!"

Taksi berhenti tepat di depanku berdiri, namun aku menolehkan kepalaku ke arah suara yang ikut memanggil taksi yang sama. "Permisi. Apakah kau tidak keberatan jika aku yang lebih dulu?" tanyaku sopan.

"Maaf, aku dalam keadaan yang mendesak," jawab pria tersebut tanpa menolehkan matanya ke arahku.

Aku mendesis geram dan menatapnya. "Begitu pun aku. Aku sudah berjalan dari stasiun ke sini untuk mencari taksi."

"Bagaimana denganku yang juga sudah berjalan dari penginapanku yang berjarak 1 km dari sini?" balas pria tersebut tidak ingin mengalah.

"Ya! Aku inㅡ"

"Apa kau mau memakai alasan bahwa kau wanita dan wanita harus didahulukan?" tanya pria tersebut memotong perkataanku dan menaikkan nada suaranya. Hei, apakah ia ingin aku beri hadiah ekor berbulu?

"Permisi, Tuan dan Nona. Apa kalian berdua tidak akan menaiki taksi ini?" sela supir taksi yang melihat perdebatan di antara kami berdua.

"Aku yang akan naik," sergahku cepat sambil memasukkan koper ke bagasi dan langsung membuka pintu taksi.

"Aku juga," ucap pria itu ikut meletakkan kopernya ke bagasi dan juga masuk ke dalam taksi. Aku hanya bisa menatapnya kesal dan menahan diri untuk tidak mengeluarkan sihirku.

"Fairwood Academy, Sir."

"Fairwood Academy, Sir."

"YAA!"

"Bahkan tujuan kalian berdua sama, jadi apa yang kalian perdebatkan dari tadi?" Supir tersebut tertawa melihat tingkah kami berdua melalui kaca spion tengah taksi.

"Maafkan kami berdua, Sir," ucap pria di sampingku sambil sedikit menundukkan kepalanya. Gerakan yang sedikit aneh di mataku.

"Tidak perlu meminta maaf. Silakan nikmati perjalanan ini, Tuan dan Nona," tutup supir taksi tersebut dan menjalankan taksinya membelah jalan raya London pada malam hari.

Aku menyibukkan diriku sendiri dan berusaha menahan kepalaku yang sangat ingin menoleh ke arah pria menyebalkan tadi. Aku memejamkan mataku pelan dan mencoba kembali menghafal mantra pembuat panekuk lezat yang diajarkan Bibi May minggu lalu.

"Jadi, apakah tujuanmu pergi ke Fairwood sama sepertiku?" tanya pria tersebut memecah keheningan di dalam taksi. "Oh, dan aku minta maaf sebelumnya atas kejadian tadi," sambung pria itu lagi.

Aku membuka mataku dan menunduk ke bawah. Menjawab pertanyaannya mungkin tidaklah buruk. "Aku juga minta maaf," balasku sambil menatap ujung syal yang aku pakai. "Jika tujuanmu adalah menjadi murid di sana, maka kita sama," jawabku.

"Itu bagus. Aku tidak akan sendirian saat tiba di sana," kata pria itu lagi dengan intonasi riang yang membuatku berakhir menatapnya.

Sejenak aku terdiam, lalu satu rasa penasaran melompat keluar dari bibirku. "Apa kau berasal dari luar Britania?" tanyaku ragu setelah mengamati lamat wajahnya.

Pria tersebut terkekeh pelan setelah mendengar pertanyaanku. "Selalu seperti ini. Harusnya kau bertanya apakah aku bukan orang Eropa," ucapnya sambil tersenyum. "Aku orang Asia, lebih tepatnya Korea Selatan. Mungkin jika kau ingin lebih tahu, aku berasal dari kota kecil bernama Busan. Tetapi ayahku penduduk Denmark sehingga aku fasih berbahasa inggris," jelas pria itu lagi. "Bagaimana denganmu?"

"Oh, aku berasal dari Inggris bagian utara. Yorkshire Dales, daerah pegunungan hijau yang berbatasan dengan Skotlandia," jelasku gugup akan perkenalan mendadak ini.

"Yorkhsire Dales? Ah, aku tahu daerah itu." Ia mengangkat jari telunjuknya seperti orang yang menemukan sebuah ide. Aku mengerutkan kening melihatnya. "Bukankah Yorkshire Dales terkenal dengan Stone Wall-nya?" tanyanya.

Aku pun mengembangkan senyumku dan mengangguk bersemangat. "Benar sekali! Bahkan rumah-rumah penduduk berdindingkan batu. Begitu pun jalan dan jembatan," sahutku. Senang rasanya ketika mengetahui bahwa kota kecilku dikenal oleh penduduk benua lain.

"Wow! Hidupmu pasti sangat damai tinggal di tengah perbukitan padang rumput yang hijau dan rumah-rumah dari batu. Itu seperti negeri sihir impian anak-anak," kagum Pria Busan tersebut (setelah mengetahui asalnya, aku memutuskan untuk menyebutnya Pria Busan).

"Baiklah Tuan dan Nona, kita sudah sampai." Supir taksi berbicara dan segera turun untuk mengeluarkan barang bawaan kami dari bagasi. Tidak terasa perjalanan dari pusat kota menuju akademi memakan waktu sebentar.

"Terima kasih, Sir. Ambil saja kembaliannya untuk menikmati kopi hangat di kedai," ucapku sambil menyerahkan uang kepada supir tersebut.

"Mengapa kau membayar bagianku?" Pria Busan yang masih sibuk mengambil tasnya di dalam taksi, menghampiriku yang sedang berusaha menarik koper.

"Sebagai rasa terima kasih karena kau telah memuji tempat tinggalku," jawabku dan segera menyeret koperku setelah taksi tadi meninggalkan kami. "Baiklah, tinggal beberapa langkah, maka aku akan menjadi murid Fairwood," ucapku sambil melangkahkan kaki melewati papan nama bertuliskan Fairwood Academy.

Namun, aku lekas menghentikan langkahku dan menghadap ke belakang. Pria Busan tadi masih terdiam dengan matanya yang menatapku, bukan gedung Fairwood di hadapan kami yang berdiri megah. "Ayo! Apa yang kau tunggu?" ajakku kepada Pria Busan.

"Aku melupakan sesuatu," ucapnya singkat.

Alisku sedikit terangkat mendengarnya. "Di dalam taksi tadi?" tanyaku bingung.

Pria Busan menggeleng dan tersenyum menatapku. "Bukan itu, aku lupa menanyakan siapa namamu."

Aku praktis tertawa pelan dan melepaskan genggamanku dari koper. "Ya ampun! Kita bahkan belum berkenalan," kataku sambil berjalan ke arah Pria Busan dan dengan senang hati, aku pun mengulurkan tangan kananku kepadanya. "Rym Knowles."

"Jeon Starkins, bukan Jhon tetapi J-e-o-n. Aku tidak ingin menghilangkan identitas asiaku."

Pria Starkins tersebut membalas uluran tanganku dan tersenyum. Aku bersyukur karena bukan Dad, tetapi Mom lah yang menjadi keturunan The Cubbins sehingga namaku bukan Rym Cubbins. Aku tidak ingin mereka yang ada di Fairwood Academy tahu bahwa aku adalah penyihir remaja dari The Cubbins yang dikirim ke Fairwood karena kecerobohannya.

Tiba-tiba aku ingin kembali duduk di depan perapian dan hanya mendengarkan Grandpa bercerita seperti tahun-tahun sebelumnya.
[...]

[] A Little Piece of Name []

A Little Piece of Magic // hiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang