"Gue gak tau sih kapan ini bermula, tapi ... kayaknya gue nyaman sama lo. Boleh gak sih kalau gue punya rasa yang lebih dari sahabat buat lo?"
Aldi memandang Vanis dalam-dalam. "Boleh aja, perasaan itu kan emang bisa datang kapan aja. Tapi gue gak bisa mastiin kedepannya gimana. Cuma kalau soal rasa ... gue juga ngerasa hal yang sama kayak lo," jawab Aldi.
Kini mereka berdua sibuk dengan eskrimnya masing-masing, atau mungkin sibuk menutupi pikiran masing-masing. Vanis memang kurang merasa puas dengan jawaban yang diberikan Aldi, namun ia tak ingin menuntut jawaban lebih banyak, menurutnya jawaban singkat Aldi tadi sudah memberitahukan soal perasaannya.
****
Berbulan-bulan mereka terus menjalani hari bersama, sebagai sahabat rasa pacar. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Tak ada yang lebih penting dari kenyamanan. Saat kenyamanan tercipta, tak akan ada lagi yang menuntut sebuah status kepastian.
Vanis memang bodoh, terjebak dalam perasaan yang tak berujung—tak ada kepastian. Logikanya selalu berpikir untuk menjauh dari Aldi, namun hatinya selalu memilih sebaliknya. Terlebih sikap Aldi yang selalu memanjakan Vanis dan membuatnya merasa teristimewa. Vanis maupun Aldi selalu menjga perasaan masing-masing. Mereka tak pernah dekat dengan orang lain.
"Di, gue ada tugas observasi mau temenin gue, gak? Tapi itu bertepatan dengan hari natal." Vanis tahu, tak seharusnya ia mengajak Aldi yang akan merayakan natal itu.
"Boleh. Ke daerah mana? Tenang aja, gue gak natalan kok, Nis."
Vanis tersenyum. Ia sudah tahu kalau Aldi akan menjawab itu. Ia juga sangat tahu meski keluarga Aldi sangat taat dalam kegiatan agamanya, tapi Aldi sebaliknya. Aldi tidak ke gereja, dan jarang mengikuti kegiatan agamanya. Aldi justru lebih sering menanyakan tentang kegiatan agama Vanis. Ya, mereka berbeda keyakinan. Itulah alasan Vanis tak ingin menuntut lebih dari Aldi.
"Ke kebun raya bogor, Di."
"Oke."
****
Observasi yang dilakukan Vanis dan Aldi waktu itu berjalan lancar. Tugas akhir Vanis sudah selesai, artinya setelah ini Vanis terbebas dari urusan kampusnya. Vanis lulus, lalu ia bekerja di perusahaan ternama di luar kota. Sedangkan Aldi menyusul di tahun berikutnya. Setelah lulus, Aldi bekerja di perusahaan swasta di Jakarta.
Setelah lulus, mereka hanya berkomunikasi melalui media sosial, tak pernah bertemu. Walau demikian, harapan dan perasaan Vanis masih sama, ia masih mencintai Aldi—sahabatnya. Vanis tahu, cinta ini tak seharusnya ada, namun ia juga tak pernah bisa menghilangkannya. Tersiksa.
Libur panjang nanti kita ketemu, ya? Nanti gue ke tempat lo, Nis.
Vanis memandang pesan dari Aldi sambil tersenyum. Bagaimana ia bisa berhenti mencintai sahabatnya bila ia selalu diperlakukan seperti ini?
Tidak usah, gue nanti pulang kok! Kangen juga sama rumah disana hehe.
Oke, gue tunggu. Nanti kita pergi ke festival Jepang, ya!
Oke, Di.
Festival Jepang adalah acara yang selalu mereka kunjungi. Mereka menyukai anime jepang yang sama. Dulu, pertama kali mereka dekat ketika Vanis meminjam harddisk Aldi untuk mengerjakan tugas, namun ternyata ada file anime kesukaannya. Disitulah mereka menjadi lebih sering bercerita tentang beberapa anime yang mereka sukai.
YOU ARE READING
My Work [From Learn To Earn]
RandomKumpulan beberapa karya yang saya buat untuk melengkapi tugas dari grup kepenulisan.
Tentang Rasa (C)
Start from the beginning
![My Work [From Learn To Earn]](https://img.wattpad.com/cover/100251222-64-k584160.jpg)