Dia meluru masuk ke rumah kami, muncul di ruang tengah, di samping televisi dan menatap kami semua dengan mata nya yang sayu dan berat. Tubuhnya terbukungkus jaket hitam tebal, kaus kaki belang putihnya menyembul sedikit dari pipa jinsnya yang lebar. Syal menutup ketat di leher hingga mulutnya menampakkan hanya sedikit kulit mukanya yang teramat putih dan pucat, sepasang mata berair dan seonggok rambut hitam yang menggembung di ikat di atas kepalanya. Satu tangan nya yang masih bersampul sarung tangan kulit coklat mencengkram tali ransel biru pupus tua. Ibu ku memperkenalkannya sebagai sepupu jauh kami yang baru tiba pagi ini dengan pesawat paling pagi. Ia sedang sakit, flu dan demam bersarang di sini- ia menunjuk hidung dan kepalanya. Itu kalimat pertamanya sebelum menyebut namanya acuh tak acuh. Ia di giring Ibu ku memasuki kamar tamu, sembari menyeret ransel besar nya, ia mendelik dan berkata 'ciao'.
Adikku Fikri menirukan gaya malas sepupu yang baru kami kenal- dan tahu keberadaannya hingga tadi, 5 menit yang lalu. Ciao. Fikri memutar bola matanya dan berlalu ke dapur. Sedang kan kedua adikku yang lainnya tertawa.
Meski pun kami pernah mendengar bahwa kami mempunyai sepupu jauh, tapi kami tidak pernah mendengar namanya, tidak sekalipun. "Mungkin mareka tidak terlalu tertarik membicarakan nya- kelakuan nya buruk, sejauh ini- dan ia seperti bungkusan tebal sampah di dalam plastik hitam", Alif, adik ku nomor dua bersandar di sofa melihat sekilas ke pintu kamar tamu.
Sepuluh menit kemudian Ibuku keluar dengan terburu- buru, "Kakak sepupu mu sedang sakit, baru saja minum obat. Jadi biarkan dia tidur, jangan habis kan makanan, dia pasti kelaparan jika bangun nanti. Kalau perlu, masakkan sesuatu untuk nya nanti, Fikri, kau dengar?", Ibuku berseru, menjulurkan lehernya. Fikri menjawab dengan dehaman samar dari dapur.
"Ibu harus pergi, jadi baik- baiklah di rumah, oh, ketuk pintu nya kalau hingga pukul 2 nanti ia tidak juga bangun. Oh gadis kurus malang- dia perlu makan! Dia tidur berhari- hari berharap itu membuat nya lebih baik", Ibuku mengaduk tas nya mencari kunci mobil. Adik bungsu ku, Alina, satu- satu nya saudara perempuan kami, mengikuti Ibu ku hingga ke teras depan. Alif menantap ku, "Kau, kau bangun kan tuan putri kita itu nanti pukul 2, jangan lupa", kemudian melempar bantal dan berlari keluar sebelum aku sempat membantahnya.
Alina kembali ke ruang tengah menggedong kucing kecilnya. "Dia begitu cantik- begitu putih dan pucat. Aku suka gaya nya! Dia sombong, tetapi aku tetap suka dia. Ciao. Ciao!", saudara perempuan ku yang baru berusia 9 tahun ini berdecak kagum memuji orang asing yang mengaku sebagai sepupu kami, mengelus kucing yang mencengkram bahu kecilnya.
"Ya, dia pucat seperti hantu!", semburku.
Alina tidak menggubrisku. "Jangan lupa pukul 2 nanti, Abang, bangun kan tuan putri kita", kata nya pada ku. Beralih pada kucing nya yang mengeong "Dia seperti putri tidur ya?", Alina berkata pada kucing kecil itu sebelum bergabung makan dengan Fikri di dapur. Aku hanya melenguh malas, menatap jam di dinding, pukul 9 pagi. Aku harus tetap di rumah menanti hingga pukul 2 sedangkan adik- adik ku bebas pergi bermain keluar menikmati liburan sekolah mareka. Tidak adil! Aku pun beranjak ke dapur bergabung untuk makan.
Suaranya serak ketika ia menjawab ketukan pelan di pintu. "Ini sudah pukul 2, kau harus bangun dan makan. Aku sudah menyiapkan makanan untuk mu, bangunlah". Hening kembali setelah suara serak lemah itu menjawab, aku mengetuk pintu lagi, mengulang apa yang tadi aku katakan. Ia membuka pintu, matanya memerah, seluruh tubuhnya terbungkus selimut tebal, ia memakai dua lapis kaus kaki, di lapis dengan serampangan. Jins nya telah berganti dengan celana piyama bahan flannel tebal yang nyaman.
"Apa? Aku? Apa? Kenapa? Dimana?", tanyanya bingung akan orientasi tempat dan waktu. "Oh, kau- kau sepupu ku", mata merah nya membuka dengan paksa, setengah menuntup ketika ia memastikan aku adalah benar sepupunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Series of Blues
Short StorySlice of life, terinspirasi dari kejadian & keadaan di sekeliling penulis yg hobi nya sering memperhatikan orang - orang dan lalu lalang kesibukan kota. Semua cerita hampir 99% adalah kejadian nyata (penulis kurang imajinasi hingga hanya mengulang...