Aku melepaskan pelukanku dan masih tersenyum lebar. Begitupun Lusi.
"Tunggu disini, aku ambilkan minuman." Lusi menahan lenganku.

"Jangan, kembali bekerja sana. Aku ingin duduk disini sebentar." Lusi melepaskan cekalannya dan kembali duduk dengan posisi awal. Dirinya duduk lesu menatap jalanan, tangan yang berada diatas meja memutar ponsel tanpa niat.

Aku memilih duduk kembali untuk menemaninya. Toh Rendi ada didalam sedang menjelaskan perihal pestanya, jadi setidaknya aku bisa bersantai sebentar.

"Aku juga ingin disini sebentar." aku memperhatikan Lusi dari atas ke bawah, aku baru sadar Lusi memotong rambutnya. Kini potongannya lebih pendek dibagian depan dekat telinga, sedangkan bagian belakang hanya dipotong sedikit.

Baju yang Lusi pakai sama seperti yang dipakainya saat terakhir menemuiku. Atasan berwarna merah muda panjang yang menyentuh paha dan mengerut dibagian bawahnya, seolah memeluk paha putihnya. Untuk bawahan dirinya hanya memakai jeans hitam diatas lutut. Cocok sekali dengannya.

Aku mengerutkan alisku saat melihat koper besar disamping kami, yang kurasa adalah milik Lusi.

"Eh, untuk apa kau membawa koper?" tunjukku pada koper berwarna kuning sambil membawanya kesampingku.

Aku berjongkok untuk meneliti, mataku bulak balik melihat koper dan Lusi.
"Ini punyamu, kan? Untuk apa bawa koper segala?" Lusi tak menjawab, hanya menatapku sedih sambil menggigit bibir bawahnya.

"Jelaskan Lusi." aku menatap matanya tajam, tapi tetap saja dirinya enggan menjawab.
"Ya sudah kalau begitu. Aku juga bisa menyembunyikan sesuatu darimu." lanjutku sebelum pergi.

Biasanya cara seperti ini ampuh untuk membuatnya bercerita, tapi bahkan sampai aku sudah siap untuk membuka pintupun dirinya masih diam. Barulah saat aku akan menegur, dirinya terisak.

Aku tak tahu harus bagaimana, yang jelas kami berdua sudah menjadi objek perhatian para pejalan kaki. Akupun memintanya untuk masuk, tanpa menjawab pertanyaan teman-temanku aku masuk ke dapur dan mengambil minuman.

"Minumlah, tenangkan pikiranmu dan cerita perlahan. Ah tidak, cerita saja jika kau sudah siap, jika belum-"

"Aku akan cerita." potongnya cepat. Masih dengan menatap lantai.

"Aku diusir oleh Ibuku karena tuduhan istri bos-ku, dia bilang aku merebut suaminya. Dia memang wanita gila!" geramnya penuh penekanan.

Tangan Lusi terkepal kuat saat sumpah serapah darinya untuk bos itu terlontar dengan lancar dari mulut merah jambunya. Mau terkekeh aku tak tega, lebih baik aku menghampiri Rendi saja untuk mengenalkan Lusi.

"Jangan terlalu lelah, jangan terlalu sedih saat sendiri, makan sayuran yang banyak, carilah teman untuk tinggal bersamamu dan mintailah bantuannya jika kau kesulitan untuk menata rambutmu. Ah iya, jika kau mencari wadah untuk memasak, aku sudah meletakannya ditempat rendah agar bisa kau capai." Adnan menghela nafas, dirinya tersenyum.

Kata-kata Adnan tiba-tiba terngiang, ucapannya membuatku menyadari sesuatu. Lusi, temanku ini membutuhkan tempat tinggal.

"Tadi kau bilang apa?" tanyaku cepat sambil tergesa duduk kembali dihadapannya.

"Apa?" tanyanya.

"Yang tadi."

"Aku diusir oleh Ibuku karena tuduhan istri bosku-"

"Lebih singkat lagi."

"Dia bilang aku merebut suaminy-"

Intuition of Love (to me youre real)Where stories live. Discover now